Gunawan Kader KNPI Laporkan Firdaus Koordinator KPD Bangka ke Polres Bangka
By beritage |
GETARBABEL.COM, BANGKA — Dampak dari laporan Komunitas Peduli Demokrasi (KPD)…
Saturday, 8 November 2025
Oleh: Institut Kosmologi dan-Eskatologi Profetik (IKEP)
Kehadiran Purbaya Yudhi Sadewa dalam kabinet Prabowo menjadi paradoks yang memikat perhatian publik: teknokrat yang mengusung transparansi justru masuk ke jantung kekuasaan yang penuh kabut kepentingan.
Belum genap seratus hari menjabat, ia sudah mengganggu kenyamanan banyak pihak. Dari sudut pandang sufistik, gangguan itulah pertanda hadirnya cahaya pada ruang yang telah lama nyaman dalam gelap.
Ia ingin membenahi subsidi, mengunci kebocoran anggaran, menghentikan pemborosan proyek mercusuar; tetapi justru di situlah badai dimulai. Karena setiap cahaya yang dinyalakan akan membuat kegelapan merasa terancam.
Gemetar Struktur Lama: Ketika Uang Rakyat Dipertaruhkan
Kontroversi Purbaya bukan soal gaya bicara yang keras, tetapi isi dari kata-katanya:
“Siapa pun yang maling uang rakyat, saya sikat. Saya tidak bisa disogok.”
Dalam tradisi sufi, keberanian seperti itu adalah bentuk sidq; kejujuran eksistensial yang menampakkan dirinya dalam tindakan. Namun sidq selalu memukul wajah kemunafikan.
Purbaya memotong proyek Whoosh (yang disebut-sebut sebagai “barang busuk sejak awal”), merombak alokasi anggaran dan memaksa investor patuh pada moral fiskal. Ia tidak kompromi; dan karena itulah ia menjadi musuh bagi mereka yang menganggap negara sebagai ladang pribadi.
Konflik pun tak terhindarkan:
“Anda memakai lambang menteri, tapi tidak ada koordinasi yang bagus. Tidak ada gunanya!”
Serangan langsung dari kolega kabinet ini, di depan publik, mengandung pesan bahwa perang kepentingan telah meletup di permukaan.
Namun Purbaya membalas dengan kalimat yang lebih dalam:
“Saya hanya bertanggung jawab kepada RI-1.”
Sebuah deklarasi bahwa ketaatannya bukan pada jaringan kuasa, melainkan pada mandat rakyat yang diwakili oleh pemimpinnya.
Teknokrasi-Profetik dalam Kepungan Oligarki
Paradoks Purbaya terletak pada latar belakang dan sikapnya:
Ia lahir dari lingkungan pendidikan sekuler, tetapi justru menghadirkan spiritualitas dalam kebijakan ekonomi.
Ia seorang ahli data, tetapi lebih takut pada dosa daripada pada rating kepercayaan pasar. Ia bagian dari kekuasaan, tetapi tidak bisa dibeli oleh permainan kekuasaan.
Di sinilah paradoks itu menjadi indah:
Rasionalitas yang terhubung pada Nur. Bukan kekuasaan yang memutuskan arah, tetapi nilai.
Dalam pandangan sufi, itulah syarat seorang wali al-amr, pemegang amanah yang setiap kebijakannya merupakan upaya mendekat kepada kebenaran.
Oposisi dari Mereka yang Takut Kehilangan Masa Lalu
Mengapa publik mencintainya namun elite gelisah?
Karena Purbaya merepresentasikan apa yang ingin kita capai, dan pada saat yang sama apa yang ingin kita tinggalkan:
Mentalitas rente yang berurat akar, budaya asal cair meski bocor, rasionalisasi untuk menutupi kebohongan anggaran.
Bagi kebanyakan, kebijakannya dirayakan sebagai momentum perlawanan rakyat. Namun bagi mereka yang terbiasa hidup dari celah gelap sistem, itu adalah ancaman eksistensial.
Paradoks Purbaya adalah cermin paling jujur dari paradoks bangsa: Kita ingin maju, tetapi takut meninggalkan zona nyaman kegelapan.
Dalam perspektif tasawuf, perubahan sejati tidak hanya mengubah aturan, tetapi juga mengubah kesadaran kolektif. Maka setiap langkah Purbaya: transparansi, integritas, disiplin fiskal, adalah terapi ruhani bagi bangsa yang lama terperangkap pada ilusi.
Ia mengubah: Ekonomi menjadi moralitas; Teknokrasi menjadi ibadah; Kebijakan menjadi jihad akbar.
Begitulah politik menjadi medan penyembuhan jiwa bangsa.
Tokoh sebagai Cermin Jiwa Kolektif
Kehadiran Purbaya Yudhi Sadewa bukan sekadar rotasi jabatan atau pergantian aktor dalam panggung politik. Ia hadir sebagai instrumen sejarah yang mempercepat benturan paradigma di tubuh bangsa.
Ia mengganggu kenyamanan palsu. Ia memaksa kita bercermin.
Dalam sufisme, setiap yang dihadirkan Allah dalam sejarah adalah isyarat, termasuk hadirnya pemimpin yang mengguncang kegelapan yang selama ini disembunyikan dalam sistem.
Maka setiap paradoks Purbaya adalah paradoks kita sebagai bangsa.
Bahasa Purbaya yang tajam bukan arogansi, melainkan kebenaran yang menolak berdiplomasi dengan kebohongan.
Ia menguji siapa yang tegak karena amanah, dan siapa yang tegak karena syahwat kekuasaan.
Dalam perspektif tasawuf, Haqq al-yaqin selalu menyingkap: Siapa yang besar karena kebenaran, dan siapa yang besar karena kegelapan.
Oligarki gelisah bukan karena mereka merasa bersalah, melainkan karena mereka takut ia benar.
Teleologi Geopolitik Indonesia
Apa yang dilakukan Purbaya bukan peristiwa tunggal. Ini bagian dari arus sejarah yang lebih besar:
Indonesia tidak hanya menghadapi konflik internal, tetapi juga berada di persimpangan perubahan sistem dunia.
Sebagai negara kepulauan terbesar dengan dua samudra, dua benua di persinggungan, posisi strategisnya bukan kebetulan, melainkan panggilan peran global.
Dalam konteks geopolitik pengetahuan dan sumber daya, Indonesia telah mulai membalikkan kutukan pusat-pinggiran: bukan lagi hanya objek investasi, tetapi subjek kebijakan yang membentuk kerangka global baru.
Karena siapa yang menguasai keuangan dan pengetahuan, dialah yang menentukan masa depan peradaban.
Pertempuran di dalam negeri hanyalah prolog, sebelum Indonesia menentukan arah dunia.
🕊 Epilog: Ketika Cahaya Fajar Tak Dapat Dihentikan; Titik Balik Kesadaran Kolektif
Purbaya memaksa kita bercermin pada pertanyaan yang lebih dalam: Apakah kita siap menyambut terang Kalasuba, atau masih terbuai dalam pelukan kenyamanan palsu Kalabendu?
Persoalannya kini telah bergeser dari sekadar nasib seorang menteri menuju ujian kesadaran kolektif bangsa.
Dalam perspektif sufistik, setiap zaman memiliki mihrab-nya sendiri; titik pusat pertarungan antara nur dan zulmah, antara cahaya dan gelap. Purbaya mungkin hanyalah salah seorang yang fana’ fi al-haqq, sosok yang larut dalam kebenaran, yang kehadirannya menguji komitmen kita pada perubahan.
Seperti dalam konsep mujahadah, perjuangannya adalah cermin dari pergulatan batin kita semua: antara mempertahankan kemapanan semu atau berani menyambut ketidaknyamanan menuju pencerahan, meskipun getir.
Operasi politik yang dilancarkan terhadapnya, dari politisasi media hingga tekanan legislatif, bukan sekadar konspirasi kekuasaan, melainkan gejala lawamatun nafs dalam skala kenegaraan: perlawanan terakhir nafsu kolektif yang takut kehilangan zona nyamannya. Setiap serangan terhadap Purbaya pada hakikatnya adalah perlawanan terhadap kesadaran baru yang hendak lahir.
Maka pertanyaannya kini bukan lagi, “apakah Purbaya akan bertahan?” tetapi “siapkah kita kehilangan cahaya yang telah mulai menyingsing?”
Sebab dalam teleologi sejarah, yang menentukan bukanlah kekuatan oligarki, tetapi kesiapan jiwa-jiwa untuk menyambut fajar. Seperti kata penyair sufi: “Cahaya tetap terang, meski seluruh dunia mencoba memadamkannya.”
Kini, di ujung senja Kalabendu, kita dihadapkan pada pilihan eksistensial: menjadi bangsa yang bangun dari tidur panjang atau tetap terlelap dalam mimpi indah yang dibangun di atas kebohongan? Karena sesungguhnya, perubahan sejati tidak datang dari kekuasaan, tetapi dari kesadaran yang bangkit. Dan kesadaran, sekali terjaga, tak mungkin kembali ditidurkan.
والله أعلم بالصواب
📌 Institute of Prophetic Cosmology and Eschatology (IPCE)
Kolaborasi Manusia–AI Serial INDONESIA DALAM GEJOLAK TRANSISI GLOBAL
Cirebon, 27 Oktober 2025.
Posted in Nasional
GETARBABEL.COM, BANGKA — Dampak dari laporan Komunitas Peduli Demokrasi (KPD)…
GETARABEL.COM, PANGKALPINANG– Penjabat (Pj) Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Kepulauan Bangka…
BERITAGETAR.COM, BANGKA — Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengusulkan pembangunan…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…