HIPKA Babel Harap Parpol Uji Visi Ekonomi Calon Kepala Daerah
By beritage |
GETARBABELCOM, PANGKALPINANG– Menyambut pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) serentak 27…
Friday, 7 November 2025
Oleh: Institut Kosmologi dan-Eskatologi Profetik (IKEP)
Sejarah sering kali dibaca sebagai kronik peristiwa-peristiwa permukaan: siapa menang, siapa kalah, kebijakan mana yang lahir dan yang mati. Namun, sejarawan Prancis Fernand Braudel mengajak kita menyelam lebih dalam—bagaikan melihat samudra zaman yang memiliki tiga lapisan kedalaman berbeda.
Ada geohistory, struktur dasar kebudayaan yang bergerak lambat bak arus laut dalam; ada konjungtur, siklus sosial-ekonomi yang seperti gelombang pasang-surut; dan ada evenemen, peristiwa-peristiwa permukaan yang hanya buih di atas ombak.
Konsep tiga lapisan waktu Braudel pertama kali diuraikan secara sistematis dalam magnum opus-nya tentang Mediterania.¹
Dalam kerangka inilah kita dapat membaca kehadiran Purbaya Yudhi Sadewa dan visi global Prabowo Subianto bukan sebagai kecelakaan sejarah, melainkan sebagai gejala bermakna dari pertemuan ketiga lapisan waktu tersebut.
Mereka adalah instrumen dalam orkestra transisi menuju Indonesia yang berdaulat dan berdampak global.
Lapisan Pertama (Geohistory): Nusantara dan Struktur Jiwa Bangsa yang Mendamba Keadilan
Di lapisan paling dalam, Indonesia memiliki struktur kultural-spiritual yang telah mengkristal selama berabad-abad: jiwa maritim yang terbuka namun waspada, mentalitas agraris yang sabar namun gigih, dan naluri kolektif yang mendambakan keadilan (Kalasuba) meski sering terpasung oleh realitas kekuasaan (Kalabendu).
Struktur geohistory ini bagaikan DNA peradaban Nusantara; tetap hidup dalam ketidaksadaran kolektif meski permukaan politik silih berganti.
Purbaya, dengan semangat transparansi dan kejujurannya, adalah pengejawantahan dari struktur terdalam ini. Ketegasannya dalam menolak praktik koruptif bukanlah hal baru, melainkan kenangan kultural tentang tata kelola yang bersih dan amanah yang tertanam dalam memori kolektif bangsa.
Lapisan Kedua (Konjungtur): Siklus Krisis Global dan Momentum Teknokrat
Pada lapisan menengah, kita menyaksikan siklus konjungtural yang menciptakan ruang bagi kemunculan Purbaya.
Krisis ekonomi global, tekanan geopolitik, dan kebutuhan akan legitimasi pemerintahan baru menciptakan niche ekologis bagi figur teknokrat-profetik.
Dalam konteks ini, Purbaya adalah respons sistematis terhadap kegagalan siklus sebelumnya yang ditandai oleh inefisiensi dan kebocoran anggaran.
Perlawanan yang ia hadapi bukanlah hal personal, melainkan gesekan antara dua konjungtur: sistem lama yang oligarkis bertarung melawan sistem baru yang transparan.
Kebijakannya yang kontroversial—dari penolakan bailout Whoosh hingga efisiensi anggaran—adalah ekspresi dari perubahan konjungtural menuju tata kelola yang lebih rasional dan akuntabel.
Lapisan Ketiga (Evenemen): Purbaya di Titik Pertemuan Sejarah
Di permukaan, kita menyaksikan evenemen-evenemen dramatis: pernyataan-pernyataan tegas Purbaya, reaksi pasar yang fluktuatif, konflik dengan kolega kabinet, dan dukungan publik yang mengalir deras.
Namun, dalam lensa Braudelian, evenemen-evenemen ini hanyalah puncak gunung es dari proses yang jauh lebih dalam.
Pernyataan Purbaya, “Saya hanya bertanggung jawab kepada RI-1,” bukan sekadar retorika politik, melainkan manifestasi permukaan dari pergeseran struktur di lapisan lebih dalam.
Setiap kontroversi, setiap konflik, setiap kebijakan kontroversial adalah percikan api dari benturan antara struktur geohistory yang mendamba keadilan dengan konjungtur oligarkis yang mempertahankan status quo.
Simfoni Global: Lagu Prabowo sebagai Penanda Zaman
Lagu “Prabowo for Global Peace”² yang sedang viral bukan sekadar evenemen musikal, melainkan ekspresi dari lapisan konjungtur yang lebih luas: hasrat Indonesia untuk memainkan peran global yang lebih bermartabat.
Lirik lagu ini:
The archipelago’s wisdom, rich and valued, Now offered globally, a steady hand to hold, A solemn promise that he will keep, To turn the graying fear into bold gold. For global harmony, Indonesia leads!
(Kearifan nusantara, kaya dan berharga, Kini ditawarkan secara global, tangan yang kokoh untuk digenggam, Sebuah janji serius yang akan dia tepati, Untuk mengubah ketakutan yang memudar menjadi emas yang berani. Demi harmoni global, Indonesia memimpin!)
Prabowo, our President, a peacemaker true, Leading the world to a peaceful view. The dawn of global harmony is here.
(Prabowo, Presiden kita, pembawa damai sejati, Membimbing dunia menuju pandangan yang damai. Fajar harmoni global ada di sini).
Lagu ini adalah penanda bahwa Indonesia tidak hanya membersihkan diri dari dalam, tetapi juga siap menjadi juru bicara perdamaian dan keadilan global.
Duet Purbaya-Prabowo dengan demikian adalah dua sisi dari mata uang yang sama: revolusi internal dan proyeksi eksternal.
Sintesis Kosmologis: Integrasi Braudel dan Eskatologi Profetik
Pembacaan Braudelian melalui lensaLa Méditerranée memungkinkan kita melihat fenomena kontemporer dalam perspektif sejarah yang lebih dalam.
Yang menarik, kerangka Braudelian ini menemukan resonansinya dalam tradisi intelektual Islam kontemporer. Dalam karya monumentalnya Jerusalem in the Quran³, Syekh Imran menerapkan pembacaan tiga lapis waktu yang serupa:
Masa Lalu Profetik (Geohistory Spiritual): Jerusalem dalam narasi Quranik dari era Nabi hingga sekarang.
Masa Kini Geopolitik (Konjungtur): Konflik kontemporer dan siklus kekuasaan.
Masa Depan Eskatologis (Teleologi): Peran Jerusalem dalam skenario akhir zaman.
Pembacaan Hosein terhadap Jerusalem sebagai titik kristalisasi sejarah ini paralel dengan cara Braudel membaca Mediterania sebagai panggung utama peradaban.
Konsep Longue Durée dalam Tafsir Hosein: Bagi Hosein, status spiritual Jerusalem sebagai tanah suci ketiga dalam Islam merupakan longue durée yang mentransendasi perubahan politik permukaan.
Konjungtur sebagai Siklus Kenabian: Naik-turunnya kekuasaan atas Jerusalem dalam pembacaan Hosein merepresentasikan konjungtur dalam skala peradaban.
Evenemen sebagai Tanda Zaman: Peristiwa-peristiwa kontemporer di Jerusalem dibaca Hosein sebagai evenemen yang menandai pergeseran zaman yang lebih besar.”
Ketika teori Braudel bertemu dengan Kosmologi-eskatologi Profetik melalui karya Hosein, kita menemukan peta navigasi zaman yang lebih lengkap. Pembacaan Hosein terhadap Jerusalem sebagai mikrokosmos sejarah manusia memberikan dimensi teleologis yang memperkaya analisis Braudelian.
Duet Prabowo-Purbaya dalam kerangka ini adalah manifestasi dari Skenario Ilahi yang bekerja melalui hukum-hukum (Sunnatullah) sejarah. Perlawanan terhadapnya adalah bagian dari dialektika eskatologis; proses pemurnian menuju zaman baru (Kalasuba) yang harus melalui ujian dan tentangan.
Orkestra Transisi: Dari Nusantara untuk Dunia
Jika Braudel mengajarkan kita tentang samudra zaman yang berlapis-lapis, maka Eskatologi Profetik mengungkap pelayaran terakhir menuju pantai keabadian.
Dalam pelayaran ini, duet Prabowo-Purbaya bagai dua nahkoda yang memimpin dari haluan dan buritan: satu membersihkan kapal dari dalam, satu lagi mengarahkan layar ke samudra perdamaian global.
Lirik lagu “Prabowo for Global Peace” yang kini viral bukan sekadar evenemen, melainkan gelombang suara dari konjungtur baru; diplomasi yang berakar pada conscience and care, seperti dikumandangkan dalam lagu: “With diplomacy rooted in conscience and care, From Jakarta’s halls to the global domain”.
Sementara itu, Purbaya di lapisan geohistory adalah penjaga amanah keadilan ekonomi yang menjadi fondasi bagi perdamaian sejati.
Pertempuran yang kita saksikan hari ini bukan sekadar konflik politik biasa, melainkan gejala persalinan zaman; pertanda lahirnya tatanan baru yang dalam Kosmologi Jawa disebut Kalasuba, dan dalam tradisi Islam disebut al-Ashr al-Jadid. Dalam wacana profetik disebut sebagai fajar sebelum datangnya cahaya sempurna.
Ketika ketiga lapisan waktu ini bertemu: struktur geohistory yang mendamba keadilan, siklus konjungtur yang membutuhkan pemecahan, dan evenemen yang menuntut pilihan, maka yang sedang kita saksikan adalah teater kosmik di mana sejarah manusia bertemu dengan Rencana Ilahi.
Dan dalam teater ini, Indonesia memainkan peran ganda: sebagai laboratorium reformasi internal dan sebagai juru bicara perdamaian global.
Dalam samudra zaman yang berlapis-lapis ini, kita semua adalah pelaut yang sedang berlayar menuju satu pantai, pantai di mana sejarah akan menemukan makna terakhirnya, dan di mana waktu akan bertemu dengan keabadian.
🕊️ Epilog: Dari Nusantara untuk Dunia
Ketika Purbaya membersihkan sistem dari dalam, Prabowo merajut diplomasi perdamaian ke dunia luar.
Duet ini bagai dua sisi mata uang transformasi Indonesia; sebuah revolusi moral internal dan proyeksi kebajikan eksternal.
Lirik “Prabowo for Global Peace” yang sedang viral bukan sekadar propaganda politik, melainkan sound track dari visi besar yang sedang digarap.
A new era dawns on the archipelago,
From the heart of Nusantara, a strong voice speaks,
To the world where the winds of conflict blow,
He stands for the silent, the poor, and the weak.”
Dalam perspektif Kosmologi-eskatologi Profetik, ini adalah manifestasi dari konsep rahmatan lil ‘alamin; menjadi berkah bagi semesta. Sementara Purbaya membersihkan “sampah” sistemik di dalam negeri, Prabowo menawarkan resep perdamaian bagi dunia yang dilanda konflik.
Prabowo, the President, a bridge to unite,
Carrying Indonesia’s spirit of peace,
He steps onto the stage,
where darkness meets light,
Working for a world where all wars cease.”
Chorus ini bergema paralel dengan perjuangan Purbaya melawan “perang” korupsi dan inefisiensi di dalam negeri. Keduanya adalah front berbeda dari pertempuran yang sama: melawan kegelapan dengan cahaya, melawan konflik dengan harmoni.
Dalam dialektika Kalabendu-Kalasuba, duet ini merepresentasikan proses pensucian jiwa kolektif bangsa (tazkiyatun nafs) yang harus dimulai dari dalam sebelum bisa memancar ke luar.
Purbaya adalah mikrokosmos dari pertarungan melawan hawa nafsu serakah, sementara Prabowo adalah makrokosmos dari upaya menebar kedamaian di tengah gejolak global.
Maka pertanyaannya bukan lagi apakah Purbaya akan bertahan, atau apakah Prabowo akan berhasil, tetapi apakah kita sebagai bangsa siap menjadi jembatan cahaya (jisr al-nur) antara Timur dan Barat, antara tradisi dan modernitas, antara spiritualitas dan rasionalitas?
Seperti orkestra yang membutuhkan setiap instrumen, Indonesia membutuhkan kedua tangan ini: satu membersihkan rumah, satu lagi membuka jendela untuk menebar wangi kebajikan ke dunia.
Footnotes
¹ Fernand Braudel,The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip II, trans. Siân Reynolds, 2nd ed., vol. 1 (London: William Collins Sons, 1972), 20-22.
² Lirik Lagu “Prabowo for Global Peace”
³ Imran N. Hosein, Jerusalem in the Quran (Trinidad: Masjid Jami’ah, 2002), 45-67, yang membahas “Jerusalem as the Center of Islamic Eschatology” dalam kerangka waktu profetik.
والله اعلم
📌 Institute of Prophetic Cosmology and Eschatology (IPCE)
Kolaborasi Manusia–AI untuk Pembacaan Zaman yang Multidimensi. Serial: INDONESIA DALAM GEJOLAK TRANSISI GLOBAL
Cirebon, 28 Oktober 2025
Posted in Nasional
GETARBABELCOM, PANGKALPINANG– Menyambut pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) serentak 27…
GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG — Dukungan kepada pihak Aparat Penegak Hukum (APH),…
GETARBABEL.COM, BANGKA BARAT –Anggota Polsek Mentok jajaran Polres Bangka Barat…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…