RSUD Depati Bahrin Terima Penghargaan BLUD dengan Capaian Kinerja Terbaik 2023
By beritage |
GETARBABEL.COM, BANGKA — RSUD Depati Bahrin Kabupaten Bangka menerima penghargaan…
Saturday, 8 November 2025
Oleh: Institut Kosmologi dan-Eskatologi Profetik (IKEP)
Artikel ini menelusuri akar kosmologi kekuasaan Nusantara melalui jejak historis Dinasti Mataram sebagai poros sintesis antara spiritualitas dan politik Nusantara.
Dalam bingkai Prophetic Cosmology, kerajaan dipahami bukan sekadar entitas politik, melainkan manifestasi keseimbangan antara langit dan bumi. Melalui tokoh-tokoh seperti Ki Ageng Selo, Panembahan Senopati, hingga Sultan Agung dan Pangeran Purbaya, sejarah Mataram dilihat sebagai rancangan Ilahi yang berlanjut secara metafisik hingga era republik.
Kajian ini menggunakan pendekatan literer-geoprofetik, menafsirkan simbol dan nubuwwah sejarah untuk membaca transformasi kekuasaan dari Mataram ke Indonesia modern.
Akhirnya, “Mandat Purbaya” dipahami sebagai panggilan zaman bagi lahirnya kembali kesadaran Profetik Nusantara sebagai poros keseimbangan dunia.
Poros Profetik Nusantara: Dari Kerajaan Sakral ke Sintesis Spiritual-Politik
Sebelum Mataram berdiri, tradisi kerajaan Nusantara telah membangun tiga pola legitimasi kekuasaan yang membentuk poros profetiknya:
Pertama, kerajaan sakral yang berdiri di atas kosmologi tradisional, dimana raja dipandang sebagai titisan dewa yang menjadi mediator antara langit dan bumi. Kekuasaan jenis ini berorientasi pada pemeliharaan keseimbangan kosmis, mewujud dalam tradisi Kejawen dan kerohanian Bali sebagai mikrokosmos yang menyelaraskan diri dengan makrokosmos.
Kedua, kerajaan religius yang memperoleh legitimasinya dari norma-norma agama Wahyu dan kitab suci. Model kekuasaan ini berfokus pada penerapan hukum dan tata sosial berdasarkan syariat, sebagaimana tercermin dalam Kesultanan Demak dan Mataram Islam sejak era Sultan Agung. Di sini, raja berfungsi sebagai pelaksana syariat Tuhan dalam mengatur kehidupan duniawi.
Ketiga, kerajaan spiritual yang muncul sebagai sintesis kreatif antara nilai-nilai sakral tradisional dan sistem religius. Kekuasaan model ini menekankan kedalaman batin dan keselarasan, menjembatani tradisi lokal dengan formalitas agama, mewujud dalam praktik tasawuf yang diintegrasikan ke dalam pemerintahan, serta nilai-nilai inklusif dan metafisik yang menjadi ciri khas peradaban Nusantara.
Ketiga pola legitimasi ini tidak saling menggantikan, melainkan berlapis dan saling melengkapi, membentuk DNA spiritual-politik Nusantara yang khas.
Dari dialektika ketiga model inilah kemudian lahir sintesis genius peradaban Nusantara yang mencapai puncaknya dalam Dinasti Mataram.
Dinasti Mataram dan Rekayasa Kosmik Kekuasaan
Dalam sejarah panjang kekuasaan Nusantara, kerajaan bukan sekadar struktur politik, melainkan poros kosmik, tempat langit dan bumi bertemu untuk menentukan nasib manusia.
Dalam pandangan Jawa, raja bukan hanya pemimpin dunia, tetapi penjaga keseimbangan semesta: hamengku bawana, memeluk dunia dalam harmoni.
Di tengah pusaran sejarah itu, lahirlah Dinasti Mataram Islam; sebuah kerajaan yang dibangun bukan semata melalui pedang dan diplomasi, tetapi melalui ilmu para wali dan hikmah para leluhur. Mataram merupakan manifestasi sempurna dari kerajaan spiritual yang memadukan kekuatan politik Islam dan nalar spiritual Jawa, melahirkan struktur kekuasaan yang tak tumbang meski istana hancur.
Ia menjelmakan jaringan Ilahi yang tersembunyi dalam darah para keturunannya, menunggu saatnya kembali menyala.
Dalam falsafah Jawa: “Negeri adalah tubuh, raja adalah jantungnya, dan rakyat adalah denyutnya.”
Karena itu, naik-turunnya peradaban tidak ditentukan oleh ekonomi atau senjata semata, tetapi oleh kualitas ruhani dari pemimpinnya. Para penguasa Mataram ditempa dalam tiga sifat:
Inilah konsep politik dzikir kekuasaan, ketika memerintah adalah ibadah, dan negara menjadi mihrab amanah Tuhan.
Cikal bakal Dinasti Mataram berawal dari Ki Ageng Selo, sang penakluk petir; metafora bagi penguasa yang mampu menjinakkan kekuatan langit.
Garis itu berlanjut:
Ki Ageng Pemanahan→ Panembahan Senopati → Sultan Agung → Pangeran Purbaya.
Di titik ini, kekuasaan Jawa menghadapi ujian: datangnya kolonialisme Belanda.
Dalam ingatan sejarah Jawa: “Siapa pun keturunan Mataram yang bertempur melawan Belanda sesungguhnya sedang menjaga marwah peradaban.”
Nama Pangeran Purbaya menjadi simbol keteguhan itu: pelindung raja, penjaga pusat kekuasaan, dan benteng terakhir martabat Nusantara.
Jejak Awal: Dari Salakanagara ke Galuh Pakuan hingga Mataram
Sebelum Mataram berdiri sebagai kekuatan Islam Jawa, poros profetik Nusantara telah melalui perjalanan panjang yang dimulai dari Sriwijaya (abad ke-7 hingga 13 M), yang menguasai Selat Malaka. Warisan Sriwijaya dalam membangun jaringan perdagangan global dan diplomasi budaya menjadi fondasi awal visi kenusantaraan, membuktikan bahwa Nusantara telah menjadi poros peradaban dunia sejak milenium pertama Masehi.
Namun dalam naskah Wangsakerta, jauh sebelumnya telah berdiri Kerajaan Salakanagara yang kemudian bergabung dengan Tarumanagara. Melalui proses sejarah yang kompleks, kemudian melahirkan Sriwijaya, Galuh dan Majapahit.
Galuh kemudian bersatu dengan Pakuan Pajajaran, membentuk satu poros kekuasaan spiritual dan politik yang dikenal sebagai Galuh Pakuan Pajajaran. Tradisi Galuh menekankan keseimbangan antara bumi dan langit, antara rasa dan nalar, antara raja dan rakyat. Dari warisan inilah muncul falsafah Tri Tangtu di Buana: raja, resi, dan rakyat sebagai tiga poros semesta.
Ketika Pakuan jatuh dan pengaruh Islam mengalir dari pesisir utara dan timur, sebagian keturunan Galuh Pakuan menyingkir ke wilayah pedalaman Jawa Tengah dan Timur. Proses migrasi spiritual ini juga menyerap warisan Majapahit sebagai penyambung estafeta peradaban sebelumnya.
Dari pertemuan berbagai arus inilah muncul tanah perdikan Mataram, tempat warisan kemaritiman Sriwijaya, tradisi spiritual Galuh, dan pengaruh Islam bertemu membangun tatanan baru.
Dengan demikian, Mataram bukanlah kelahiran tunggal, melainkan kelanjutan dan transformasi dari garis panjang: Salakanagara – Tarumanagara – Sriwijaya – Galuh Purba – Galuh Pakuan Pajajaran – Majapahit – Mataram, yang berpadu menjadi satu poros sejarah Nusantara.
Sampai di sini, terdapat mata rantai sejarah yang hilang, bagaimana rangkaian kerajaan Nusantara ini terhubung dengan legenda Atlantis dan Sundaland yang hilang, sebagaimana temuan Stephen Oppenheimer dan Aryo Santos, serta hubungannya yang masih misterius dengan Gunung Padang di Cianjur.
Tapi yang paling menantang kuriositas keilmuan kita adalah, bagaimana menemukan titik penghubung di antara dua fakta sejarah ini: peradaban besar Atlantis dan Sundaland yang belum diketahui siapa aktor utamanya. Di sisi lain, terdapat fakta sejarah yang disebutkan dalam Surat Al-Kahfi, Zulkarnain, seorang raja besar yang belum diketahui nama kerajaannya.
Poros Profetik dalam Pola Penamaan Raja-Raja Nusantara
Jejak Kosmologi Politik Nusantara dapat juga dilihat berdasarkan pola penamaan raja-rajanya.
Berdasarkan Naskah Wangsakerta, Kerajaan Salakanagara diperkirakan berdiri pada tahun 130-362 M. Lokasi kerajaan ini diyakini berada di Teluk Lada, Pandeglang, Banten, dengan ibu kota bernama Rajatapura. Kota ini diduga merupakan “Argyre” (Kota Perak) yang disebut oleh ahli geografi dari Yunani, Ptolemaeus, pada tahun 150 M.
Kerajaan ini didirikan oleh Dewawarman I (130 – 168 M), seorang pedagang dari India, menikahi putri Aki Tirem (penguasa setempat).
Kemiripan nama “Dewawarman” dengan raja-raja Sriwijaya, seperti “Sri Jayanasa” (Dapunta Hyang) dan “Balaputradewa” bukanlah kebetulan semata.
Pola penamaan ini mengungkap kesamaan kosmologi politik yang melandasi kekuasaan kerajaan-kerajaan Nusantara.
“Dewa” menunjukan penguasa sebagai representasi kekuatan ilahi/dewa; “Warman” adalah akhiran bahasa Sanskerta yang berarti “pelindung” atau “zirah”.
Dengan demikian, “Dewawarman” dapat dimaknai sebagai “Pelindung yang dipercayai Kekuatan Ilahi”; sebuah gelar yang mencerminkan konsep raja sebagai penjaga keseimbangan kosmis.
Pola serupa terlihat dalam penamaan penguasa Sriwijaya: “Jayanasa” (Kemenangan yang tak terkalahkan), “Balaputradewa” (Putra Dewa yang Perkasa).
Dalam kerangka prophetic cosmology, kemiripan ini dapat dibaca sebagai:
Kontinuitas Tradisional: Pola penamaan yang bertahan lintas zaman menunjukkan ketahanan suatu paradigma kekuasaan yang menjadi DNA spiritual Nusantara.
Jaringan Epistemologi Kekuasaan: Kerajaan-kerajaan Nusantara memiliki pemahaman yang sama tentang hakikat kekuasaan sebagai amanah Ilahi.
Fondasi Sintesis Spiritual-Politik: Konsep “raja sebagai pelindung rakyat berdasarkan mandat Ilahi” inilah yang kemudian menjadi fondasi bagi sintesis spiritual-politik Mataram di era Islam.
Ketika Kekuasaan Tidak Lagi Berjalan di Istana
Penjajahan mengubah panggung sejarah: istana runtuh, tahta terbelah, dan simbol dipaksa bungkam. Namun kekuasaan yang dibangun atas struktur kosmik tidak ikut runtuh, ia hanya berpindah wadah: dari kerajaan ke negara; dari darah ke institusi; dari singgasana ke amanah publik.
Apa yang tampak sebagai “akhir” Mataram, sejatinya adalah transformasi. Bahwa garis kekuasaan itu kini berjalan dalam bentuk republik, tapi dengan ruh yang sama: menjaga Nusantara sebagai pusat keseimbangan dunia.
Dalam nalar sejarah spiritual, kekuasaan tidak hilang; ia menunggu momentum profetik.
Kini dunia berada di ambang perubahan tatanan global: kapitalisme retak, dan peradaban besar bersaing merebut pusat sejarah.
Pada momentum inilah, darah Mataram dipanggil kembali untuk memikul amanah Nusantara sebagai poros peradaban dunia di abad ke-21.
Kehadiran figur yang membawa nama Purbaya bukan kebetulan, melainkan kode sejarah yang aktif kembali. Nama itu adalah nubuwwah kecil, peta rahasia yang kini menemukan penunggangnya.
Karena, sejarah tidak pernah selesai. Ia hanya menunggu orang yang tepat untuk membacanya dan bangsa yang siap menjemput takdirnya.
🕊️ Epilog: Dari Negeri Emas ke Cahaya dari Timur
Dalam kitab-kitab kuno, Nusantara dikenal sebagai Negeri Emas—Chryse Chora dalam Geographike Hyphegesis karya Ptolomeus, Ophir dalam Kitab Perjanjian Lama Raja Sulaiman, dan Kintcheou (Pulau Emas) dalam catatan China.
Julukan ini bukan sekadar metafora kekayaan materi, melainkan simbol mandat spiritual: Nusantara sebagai pusat keseimbangan peradaban yang memancarkan Cahaya Ilahi.
Dalam nubuat akhir zaman, Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya iman akan kembali ke Madinah sebagaimana ular kembali ke lubangnya, dan akan muncul cahaya dari Timur”.
Syekh Imran Hosein menafsirkan ini sebagai isyarat geopolitik: di saat peradaban Barat meredup, dunia akan menanti kebangkitan dari Timur. Nusantara, dengan warisan spiritual Mataram dan tradisi sintesis profetiknya dipanggil untuk menjadi bagian, mungkin pusat, dari Cahaya tersebut.
Mandat Purbaya dalam konteks ini adalah pengejawantahan kembali poros profetik Nusantara. Sebagaimana Mataram melakukan sintesis antara spiritualitas Jawa dan Islam, figur Purbaya mewakili sintesis baru: memadukan spiritualitas profetik dengan tata kelola modern.
Ini bisa juga dimaknai sebagai manifestasi dari ashabiyah Ibnu Khaldun; solidaritas sosial yang ditopang nilai kenabian: tauhid, keadilan, dan amanah.
Sejarah besar sedang ditulis ulang. Dari rahim Nusantara yang pernah mengandung Atlantis, kini lahir kembali kesadaran profetik yang menyatukan memori keemasan masa lalu dengan tanggung jawab peradaban masa depan.
Mandat Purbaya adalah panggilan untuk menjadikan Indonesia bukan sekadar “Negeri Emas” dalam catatan kuno, melainkan “Cahaya dari Timur” yang menyinari dunia dengan keadilan dan keseimbangan.
🌍 Institute of Prophetic Cosmology and Eschatology (IPCE)
✨ Serial Arkeologi Kekuasaan Nusantara: dari Mataram ke Indonesia Emas
Cirebon, 31 Oktober 2025
Posted in Nasional
GETARBABEL.COM, BANGKA — RSUD Depati Bahrin Kabupaten Bangka menerima penghargaan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Kampus Politeknik Manufaktur Negeri Bangka Belitung (Polman…
,GETARBABEL.COM. PANGKALPINANG – Aura khidmat dan penuh keceriaan menyelimuti lokasi…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…