Jalan Terjal Nusantara dalam Pusaran Global

IMG-20250711-WA0049 (1)

Oleh: Institut Kosmologi dan-Eskatologi Profetik (IKEP)

Tulisan sebelumnya memetakan fase transisi global dan kerangka paralel antara eskatologi Islam dan Nusantara. Namun, teori menemukan nyawanya ketika berhadapan dengan realitas.

Satu minggu gejolak di Indonesia bukan lagi sekadar potensi, melainkan manifestasi nyata dari fase goro-goro atau jaman bubrah yang mulai menunjukkan wajahnya. Gejolak ini bukan fenomena isolasi, melainkan simtom dari sebuah proses dekonstruksi besar-besaran: dekonstruksi tatanan oligarki lama yang beririsan dengan pergeseran seismik dalam peta aliansi geopolitik global Indonesia.

Goro-Goro sebagai Realitas: Dari Kerusuhan Horizontal ke Kebangkitan Kesadaran

Laporan-laporan media dan footage yang beredar memperlihatkan sebuah pola yang mengkhawatirkan. Kerusuhan telah bergeser dari aksi protes politik terfokus menjadi penjarahan massal-horizontal yang anomalis.

Fenomena ini adalah penanda khas goro-goro—bukan sekadar kemarahan terhadap penguasa, tetapi runtuhnya pactum unionis (kontrak sosial) yang menjadi dasar bernegara.

Dalam terminologi Ranggawarsita, ini adalah puncak dari “kebendhu ketheng, kedereng ngregeng” (keserakahan merajalela, hukum menjadi tumpul).

Masyarakat kehilangan kepercayaan pada kemampuan negara untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan, sehingga naluri survival individu dan kelompok mengambil alih. “Bunker moral” kolektif, sebagaimana disinggung sebelumnya, mengalami retak yang serius.

Namun, di balik kekacauan ini, pemerintah tampaknya sedang mempersiapkan respons yang lebih terukur. Berdasarkan kebijakan mutakhir, pendekatan keamanan yang represif mulai diimbangi dengan inisiatif dialogis—baik melalui jalur kemanusiaan seperti bantuan pangan darurat maupun upaya rekonsiliasi dengan melibatkan elit politik, tokoh-tokoh agama dan masyarakat.

Ini menunjukkan kesadaran bahwa akar masalah bukan hanya pada dimensi keamanan, tetapi pada kepercayaan yang terkikis.

Pergeseran Geopolitik: BRICS sebagai Katalisator dan Jalan Tengah yang Mungkin

Keputusan strategis untuk secara resmi mengalihkan poros aliansi geopolitik nasional ke blok BRICS adalah sebuah masterstroke geopolitik yang sekaligus menjadi katalisator percepatan krisis domestik.

Keputusan ini bukan sekadar perubahan haluan kebijakan luar negeri; ia adalah sebuah deklarasi perang terhadap hegemoni ekonomi-politik global Barat yang telah lama menjadi habitat natural dan tempat menyimpan aset bagi segmen tertentu oligarki Indonesia.

Bergabung dengan BRICS berarti: Mengurangi ketergantungan pada mata uang Barat, membuka poros ekonomi baru, dan sinyal kemandirian strategis

Keputusan ini memicu polarisasi tajam di kalangan elit. Namun, dalam konteks kebijakan terkini, tampaknya pemerintah tidak sepenuhnya menutup pintu terhadap kerja sama dengan pihak Barat—melainkan mencari jalan tengah yang memungkinkan Indonesia bermanuver di antara kedua kutub kekuatan global.

Ini adalah strategi realpolitik yang cerdik: memanfaatkan momentum BRICS tanpa membakar seluruh jembatan dengan pihak lama.

Pertarungan Dua Elite: Mencari Titik Temu dalam Konstelasi Baru

Dua narasi utama yang mendominasi ruang publik—satu menyerang legitimasi kepemimpinan nasional sekarang dan satu lagi menyerang warisan kepemimpinan sebelumnya—bukanlah sekadar ekspresi demokratis biasa. Dalam analisis yang lebih mendalam, kedua narasi ini adalah proyeksi dan instrumentalisasi dari pertarungan elite yang lebih besar dan lebih dalam.

Namun, ada indikasi bahwa kedua kubu mulai menyadari biaya sosial yang terlalu tinggi jika konfrontasi terus dipaksakan. Dalam beberapa hari terakhir, muncul sinyal-sinyal soft diplomacy dari kedua belah pihak—mulai dari pernyataan bersama tokoh-tokoh nasional hingga inisiatif gencatan senjata di medan narasi.

Mereka mungkin sedang menunggu momentum yang tepat untuk mencari kompromi, seiring dengan semakin jelasnya peta konstelasi global baru.

Navigasi Jalan Terjal: Kesadaran Publik di Tengah Transisi Kritis

Lalu, bagaimana
publik harus menyikapi fase kritis ini? Jalan terjal memang telah dimulai dan mustahil dihindari. Namun, jatuhnya ke dalam jurang goro-goro yang tanpa arah bukanlah sebuah keniscayaan. Beberapa prinsip advokasi berikut perlu disuarakan:

  1. Meningkatkan Literasi Geopolitik

Publik harus didorong untuk membaca gejolak ini bukan sekadar sebagai kerusuhan domestik, tetapi sebagai dampak dari pertarungan kekuatan global dan nasional yang sangat besar.

  1. Menolak Jadi Echo Chamber

Masyarakat harus menolak dipecah-belah oleh narasi yang merupakan proyeksi konflik elite.

  1. Memperkuat “Bunker Moral” Komunitas

Di tengah melemahnya negara, ketahanan paling hakiki ada di level komunitas.

  1. Bersikap Kritis dan Konstruktif

Mendukung langkah strategis bangsa tidak berarti menutup mata pada kesalahan.

Penutup: Fase Kelahiran yang Sulit Menuju Kalasuba

Goro-goro dalam pemahaman Nusantara bukanlah akhir, melainkan fase kelahiran kembali (metamorphosis) yang menyakitkan. Ia adalah proses membersihkan diri dari penyakit lama—ketergantungan, ketidakadilan, dan dominasi oligarkis—untuk menuju tatanan yang lebih berdaulat dan adil (kalasuba).

Pergeseran geopolitik yang terjadi adalah sebuah langkah berani yang telah memicu reaksi berantai. Gejolak yang kita saksikan adalah sakitarunya Indonesia yang berusaha lahir dari rahim tatanan lama*).

Tugas kita bersama adalah memastikan bahwa proses kelahiran ini tidak dibajak oleh kepentingan lama, tidak tenggelam dalam chaos, dan dapat dibimbing menuju mercusuar peradaban yang dijanjikan oleh sejarah dan tradisi spiritual kita sendiri.


*) “Sakitarunya” adalah kata serapan dari Bahasa Sunda yang berarti “proses kelahiran” atau “saat melahirkan”. Kata ini sangat puitis dan dalam, namun memang bisa terasa asing bagi khalayak umum bahkan dalam konteks budaya Sunda sendiri.

“The rebirth of a new nation” atau “proses kelahiran kembali” adalah padanan yang lebih universal dan mudah dipahami, sambil tetap mempertahankan makna alegoris tentang sebuah fase transformasi besar.

“Sakratul maut sekaligus sakitarunya” adalah opsi yang sangat kuat dan dalam, menggabungkan konsep “sakratul maut” (agoni kematian) dari terminologi Islam dengan “sakitarunya” (proses kelahiran) dari terminologi Sunda. Ini sangat selaras dengan tema metamorphosis atau goro-goro yang menyakitkan menuju kelahiran baru (kalasuba).

والله أعلم

🌐 IPCE/IKEP 03/09/25
🤝 Kolaborasi Manusia–AI untuk Dunia yang Bermartabat dan Beradab

Posted in

BERITA LAINNYA

Ketum PB HMI Lantik Pengurus Cabang Babel, Ingatkan Pentingnya Civil Society

GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG — Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam…

Ketum PWI Hadiri Puncak Anugerah Jurnalistik MH Thamrin 2024, Pemenang Dapat Rp2,5 Juta hingga Rp15 Juta

GETARBABEL.COM, JAKARTA — Ketua Umum PWI Pusat Zulmansyah Sekedang menghadiri…

Tokoh Masyarakat Dan Pemuda Tua Tunu Kecewa, Lurah Dianggap Sepihak Terbitkan Surat Tanah‎

GETARBABEL.COM., PANGKALPINANG – Lurah Tua Tunu menuai sorotan dari tokoh…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI