Pondasi Peradaban Baru (9): Reorientasi Kurikulum Berbasis Epistemologi Islam

images (2)

Peradaban modern, meski mencapai kemajuan material yang mencengangkan, namun menghadapi krisis multidimensi yang akut: degradasi lingkungan yang mengancam keberlangsungan ekologis, kekosongan spiritual yang memicu alienasi, ketimpangan sosial-ekonomi yang meluas, dan erosi etika yang mendasar.¹

Krisis peradaban ini bersumber dari krisis epistemologi; cara memperoleh dan memaknai pengetahuan yang mendominasi dunia pendidikan.

Epistemologi Barat VS Islam

Sebelum menyelami konsep bashirah, perlu dipahami akar krisis melalui lensa perbandingan epistemologis:

  1. Sumber Pengetahuan
  • Epistemologi Barat Modern:

Bersandar pada empiris-indrawi (pengamatan) dan rasio instrumental (logika deduktif-induktif) sebagai sumber kebenaran utama.

Wahyu dan spiritualitas ditempatkan di luar domain pengetahuan “valid” (sekularisasi ilmu).²

  • Epistemologi Islam:

Mengintegrasikan Wahyu (al-Qur’an dan Sunnah), akal sehat (‘aql), pengalaman batin (kasyf), dan observasi empiris dalam hierarki yang koheren.

Wahyu menjadi pembingkai (framework) kebenaran mutlak, sementara akal dan empiris berfungsi mengeksplorasi ayat-ayat kauniyah.³

  1. Hakikat Realitas
  • Barat Modern:

Memandang realitas secara fragmentatif dan materialistik. Alam adalah objek mekanis yang terpisah dari manusia (dualisme Descartes).⁴

  • Islam:

Melihat realitas sebagai kesatuan terintegrasi (tawḥīd). Alam adalah āyāt (tanda-tanda Ilahi) yang terkait secara organik dengan dimensi metafisik.⁵

  1. Objektivitas & Nilai
  • Barat Modern:

Menekankan netralitas nilai (value-free science). Pengetahuan dipisahkan dari etika dan tujuan transendental.⁶

  • Islam:

Menyatukan fakta dan nilai (“is” dan “ought”). Setiap ilmu mengandung dimensi ḥikmah (kebijaksanaan) dan bertujuan mendekatkan diri kepada Allah (taqwa).⁷

Mengapa Reorientasi Kurikulum Berbasis Epistemologi Islam Penting?

Kurikulum Barat modern yang sekular-materialistik telah gagal menjawab krisis eksistensial manusia karena:

  • Mereduksi makna pengetahuan menjadi alat kontrol materi (QS 30: 7).
  • Memisahkan ilmu dari sumber Ilahi, menghasilkan spesialisasi buta yang abai terhadap konsekuensi etis-spiritual.⁸
  • Mengabaikan potensi kognitif manusia (bashirah) yang mampu mengakses kebenaran holistik di luar indra dan rasio semata.

Reorientasi berbasis epistemologi Islam bukan sekadar menambahkan “pelajaran agama,” tapi membangun paradigma ilmu terpadu yang memulihkan hubungan sakral antara Pencipta, manusia, dan alam semesta.

Krisis peradaban bersumber dari krisis persepsi, yaitu cara pandang terfragmentasi dan materialistik terhadap realitas.⁹

Persepsi yang didominasi basyar (indra) dan akal instrumental mengabaikan dimensi bashirah (mata hati), jantung keberadaan manusia.

Menyelami Makna Bashirah

Al-Qur’an membedakan basyar (penglihatan mata) dengan bashirah (penglihatan hati):

“Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada” (QS. Al-Hajj: 46).¹⁰

Dalam kosmologi tasawuf, bashirah adalah fungsi Qalb (hati spiritual) sebagai pusat pencerahan Ilahi (tajallī).¹¹

Inilah epistemologi batin yang melampaui rasio dan indra, memungkinkan ma’rifah (pengetahuan hakiki) tentang Allah dan interkoneksi segala ciptaan-Nya (waḥdat al-wujūd).¹²

Pendidikan Modern dan Epidemi Kebutaan Bashirah

Paradigma pendidikan modern yang sekular-materialistik telah:

  • Mengerdilkan epistemologi hanya pada domain empiris-rasional yang terukur.
  • Memisahkan ilmu agama-umum, mengubur prinsip tawḥīd al-‘ulūm (kesatuan ilmu).¹³
  • Mengabaikan penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs), syarat utama aktivasi bashirah.¹⁴

Akibatnya, kurikulum melahirkan generasi “buta hati”: ahli teknologi namun buta makna, pandai menghitung namun gagal membedakan hakiki-ilusif (QS. 7: 179).

Penutup: Bashirah sebagai Basis Reorientasi Epistemologis

Reorientasi kurikulum berbasis epistemologi Islam berporos pada pemulihan fungsi bashirah; mengintegrasikan wahyu, akal, empiris, dan pengalaman batin dalam kerangka tawḥīd.

Hanya dengan ini pendidikan dapat menjawab krisis peradaban: mengembalikan ilmu pada tujuan utamanya (ma’rifatullāh) dan melahirkan manusia berhati selamat (qalbun salīm).

DAFTAR FOOTNOTE

¹ Krisis Multidimensi Peradaban Modern: Lihat analisis holistik pada: Sardar, Z. (2011). The Namesake: Future of Islam. London: Hurst & Co.; serta IPCC Report (2023) tentang krisis ekologis.

² Krisis Epistemologi sebagai Akar: Merujuk kritik Al-Attas, S.M.N. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC, hlm. 42-45.

³ Hierarki Sumber Pengetahuan Islam: Ibn Khaldūn. (1377). Muqaddimah, Bab V; disistematisasi oleh Al-Faruqi, I.R. (1982). Islamization of Knowledge. IIIT, hlm. 15-19.

⁴ Materialisme Descartes: Descartes, R. (1641). Meditations on First Philosophy, Meditation VI. Bandingkan dengan kritik Nasr, S.H. (1993). The Need for a Sacred Science, hlm. 73.

⁵ Tawḥīd sebagai Basis Realitas: Al-Qur’an 3:190-191; dielaborasi Murata, S. & Chittick, W. (1994). The Vision of Islam. I.B. Tauris, hlm. xxxv-xli.

⁶ Netralitas Nilai Sains Barat: Weber, M. (1917). Science as a Vocation; kritik: Husserl, E. (1936). The Crisis of European Sciences, §9.

⁷ Integrasi Fakta-Nilai dalam Islam: Al-Ghazālī. (1107). Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Kitāb al-’Ilm: “Setiap ilmu wajib terkait maqāṣid syarī’ah”.

⁸ Konsekuensi Sekularisasi Ilmu: QS 30: 7: “Mereka hanya mengetahui yang lahir dari kehidupan dunia…”. Lihat Wan Daud, W.M.N. (2003). Educational Philosophy of Al-Attas, hlm. 88-92.

⁹ Krisis Persepsi Materialistik: Capra, F. (1982). The Turning Point, Bab 1; paralel dengan QS 2:7 tentang “penutup hati”.

¹⁰ QS Al-Ḥajj: 46
Tafsir Ibn Kathīr: “Kebutaan hati akibat mengabaikan ayat-ayat Allah”.

¹¹ Bashīrah sebagai Fungsi Qalb: Al-Qushayrī. (1072). Al-Risālah al-Qushayriyyah, Bab al-Qalb; Chittick, W. (1989). The Sufi Path of Knowledge, hlm. 145.

¹² Ma’rifah dan Waḥdat al-Wujūd: Ibn ‘Arabī. (1238). Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, Jilid II.344; Austin, R.W.J. (1980). Ibn al-Arabi: The Bezels of Wisdom, hlm. 48.

¹³ Tawḥīd al-‘Ulūm: Al-Attas, S.M.N. (1978). Aims and Objectives of Islamic Education, hlm. 27: “Ilmu terpadu dalam kerangka tauhid”.

¹⁴ Tazkiyat al-Nafs sebagai Syarat Bashīrah: Al-Ghazālī. Iḥyā’, Kitāb Riyāḍat al-Nafs; data empiris: Sara Sviri (2002). The Taste of Hidden Things, hlm. 115.

والله أعلم

MS 15/06/25

(Foto: ilustrasi/IST)

Posted in

BERITA LAINNYA

HCB Batal Diperiksa Polda Metro Jaya, Laporan Kasus Cash Back PWI Jalan Terus

GETARBABEL.COM, JAKARTA — Terlapor dugaan kasus penggelapan dana organisasi PWI…

ISB Atma Luhur Belinyu Gelar Kuliah Perdana, 12 Mahasiswa Dapat Beasiswa

GETARBABEL.COM, BANGKA — Institut Sains dan Bisnis (ISB) Atma Luhur…

Ganjar Teratas Ekspos Capres Potensial 2024

JAKARTA—Indonesia Indicator merilis laporan mingguan pemantauan media online, media sosial…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI