Pusat dan Daerah Gelar Rakor Persiapan Penetapan Upah Minimun 2025
By beritage |
GETARBABELCOM.COM, PANGKALPINANG – Pemerintah Pusat bersama seluruh Kepala Daerah di…
Wednesday, 17 September 2025
Oleh: Institut Kosmologi dan-Eskatologi ( KEP)
Abstrak
Kajian mengenai Nusantara dalam konteks peradaban dunia masih sering menempatkan kawasan ini sebagai periferi sejarah. Padahal, sejumlah temuan mutakhir—baik dalam bidang genetika, arkeologi, maupun geologi—menunjukkan kemungkinan bahwa Asia Tenggara, khususnya Sundaland (dataran purba yang kini sebagian besar menjadi Kepulauan Indonesia), merupakan pusat awal peradaban global.
Artikel ini menyusun kerangka historis, antropologis, dan teologis untuk membaca ulang posisi Nusantara. Melalui pendekatan multidisipliner yang mengintegrasikan sains Barat, tradisi Timur, dan perspektif Islam, tulisan ini berargumen bahwa Nusantara dapat dipahami sebagai kandidat penting “cradle of civilization” (tempat lahirnya peradaban) sekaligus mercusuar peradaban baru.
Kata Kunci: Nusantara, Sundaland, Atlantis, mitos, Islam, peradaban
Pendahuluan
Sejarah resmi dunia selama ini berpusat pada Mediterania dan Timur Tengah. Narasi dominan tersebut meminggirkan kawasan Asia Tenggara, termasuk Nusantara, meskipun secara geopolitik dan geokultural kawasan ini berada di jalur silang perdagangan global.
Dalam konteks teori clash of civilizations (Huntington, 1996) dan kerentanan internal peradaban (Toynbee, 1946), membaca ulang posisi Nusantara menjadi kebutuhan mendesak.
Tulisan ini menyajikan lima lapis analisis: (1) Manifesto Nusantara sebagai titik awal kesadaran sejarah, (2) perspektif Barat tentang Sundaland dan Atlantis, (3) tradisi Timur dan memori purba, (4) perspektif Islam sebagai horizon profetik, dan (5) agenda kebangkitan Nusantara sebagai mercusuar peradaban baru.
Pembahasan
Manifesto Nusantara berangkat dari kesadaran maritim: laut adalah ruang hidup sekaligus penghubung. Tetapi, penjajahan narasi membuat Nusantara sering diposisikan hanya sebagai objek sejarah. Padahal, letaknya di simpang Samudra Hindia dan Pasifik menempatkannya pada posisi strategis.
Pertanyaan utama muncul: apakah Nusantara pernah menjadi pusat peradaban dunia?
Penelitian Stephen Oppenheimer (1998) dalam Eden in the East menunjukkan bahwa migrasi besar umat manusia bermula dari Sundaland, dengan bukti genetika, linguistik, dan geologi.
Sementara itu, Arysio Santos (2005) mengajukan hipotesis bahwa Atlantis Plato sebenarnya terletak di kawasan Indonesia. Data geologi menunjukkan naiknya permukaan laut sekitar 120 meter pada akhir Zaman Es, yang menenggelamkan daratan luas Asia Tenggara.
Situs-situs seperti Gunung Padang (Indonesia), Nan Madol (Mikronesia), dan Yonaguni (Jepang) memberi indikasi adanya kebudayaan maritim purba.
Mitos banjir besar hadir dalam berbagai tradisi Nusantara: pralaya di Jawa, kisah danau purba Sunda, cerita Bugis dan Dayak. Tradisi Hindu-Buddha mengenal Gunung Meru dan samudra kosmik, sementara legenda Tiongkok dan Pasifik mengenal kisah Mu dan Lemuria.
Sebagai arsip simbolis, mitos berfungsi menjaga memori kolektif. Ketika dibandingkan dengan temuan Oppenheimer dan Santos, tradisi ini justru memperkuat hipotesis Sundaland.
Al-Qur’an dan hadis memberi horizon makna terhadap sejarah peradaban. Kisah banjir Nabi Nuh, kaum ‘Ad dan Tsamud, hingga pertemuan Musa dan Khidr di majma‘ al-bahrain memberi isyarat tentang hilangnya dan bertemunya peradaban.
Dalam perspektif eskatologi, laut memainkan peran penting di akhir zaman. Pemikir kontemporer seperti Syekh Imran Hosein (2001) menegaskan keterkaitan antara hegemoni maritim, perdagangan global, dan fitnah Dajjal.
Dengan demikian, Islam bukan sekadar memberi data tambahan, melainkan memberi orientasi spiritual untuk membaca ulang Atlantis.
Integrasi tiga tradisi keilmuan—Barat (sains modern), Timur (mitos dan tradisi), dan Islam (wahyu)—menjadikan Nusantara sebagai majma‘ al-bahrain ilmu pengetahuan.
Agenda kebangkitan harus meliputi: (1) pendidikan berbasis memori sejarah, (2) kedaulatan maritim, pangan, dan energi, (3) teknologi strategis, serta (4) diplomasi global yang menempatkan Nusantara sebagai subjek, bukan objek.
Dengan demikian, “Atlantis yang hilang” dapat bermetamorfosis menjadi “Nusantara yang bangkit” sebagai mercusuar peradaban abad 21–22.
Kesimpulan
Membaca ulang peradaban Nusantara membuka kemungkinan besar bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat peradaban dunia. Sains modern, tradisi Timur, dan wahyu Islam saling bersahutan dalam memperkuat hipotesis tersebut.
Yang dibutuhkan kini adalah transformasi kesadaran: dari objek kolonialisme menjadi subjek sejarah, dari narasi kehilangan menjadi narasi kebangkitan.
Manifesto Nusantara bukan hanya nostalgia masa lalu, melainkan peta jalan menuju masa depan: Nusantara sebagai mercusuar peradaban baru.
Daftar Rujukan
Huntington, S. (1996). The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Simon & Schuster.
Oppenheimer, S. (1998). Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia. London: Weidenfeld & Nicolson.
Santos, A. N. (2005). Atlantis: The Lost Continent Finally Found. Bloomington: AuthorHouse.
Toynbee, A. (1946). A Study of History. Oxford: Oxford University Press.
Hosein, I. (2001). Jerusalem in the Qur’an: An Islamic View of the Destiny of Jerusalem. Kuala Lumpur: Masjid Darul Qur’an.
Versi lokal mitos Nusantara (Jawa, Sunda, Bugis, Dayak) dalam berbagai himpunan folklor dan hikayat tradisional.
والله أعلم
🌐 IPCE/IKEP 11/09/25
🤝 Kolaborasi Manusia–AI untuk Dunia yang Bermartabat dan Beradab
Posted in IPTEK
GETARBABELCOM.COM, PANGKALPINANG – Pemerintah Pusat bersama seluruh Kepala Daerah di…
PANGKALPINANG–Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Asban Aris berharap,…
BERITAGETAR.COM , BANGKA –Menghadapi ujian akhir kelulusan tahun 2024 ini,…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…