Opini || Menyoal Tindakan Gus Miftah: Keteladanan yang Tercoreng di Hadapan Publik
By beritage |
Oleh : Muhammad Iqro’ Attaturk || Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas…
Wednesday, 27 August 2025
Oleh : Hamin, Ebin, Ilham Rizki Juliansyah || Tim Riset Mahasiswa Sosiologi Universitas Bangka Belitung
Ketahanan pangan selalu menjadi topik strategis bagi bangsa yang tengah membangun kedaulatan ekonomi. Pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2024 menekankan pentingnya lumbung pangan dari pusat hingga desa. Namun, realitas di lapangan seringkali
menunjukkan adanya perbedaan antara kebijakan nasional dan kearifan lokal. Salah satunya terjadi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Di tengah masifnya pembangunan pertanian padi sawah seperti di Kabupaten Bangka Selatan khususnya Desa Rias. Sementara itu masyarakat Desa Pangkal Niur justru tetap pertahan dengan tradisi bertani padi ladang. Pilihan ini tampak “berbeda arus” dengan kecenderungan pemerintah yang berfokus pada modernisasi sawah, pembuatan infrastruktur bendungan, dan pemberian bibit unggul. Akan tetapi, di balik sikap masyarakat Pangkal Niur tersebut tersimpan makna mendalam: Mempertahankan identitas sekaligus menjaga ruang hiidup yang diwariskan sejak nenek moyang.
Berume: Antara Tradisi, Tantangan, dan Harapan
Fenomena ini menghadirkan pertanyaan penting. Apakah berume sekadar soal bertani, ataukah ia telah menjelma sebagai simbol ketahanan pangan berbasis kearifan lokal? Jawabannya cenderung pada yang kedua. Masyarakat Pangkal Niur tidak hanya menanam padi untuk dimakan, tetapi juga menanam nilai kebersamaan, keteguhan, dan penghormatan terhadap tradisi. Bahkan, di tengah tekanan ekonomi dan tawaran menggiurkan dari perusahaan sawit, mereka memilih menolak demi tetap menjaga lahan untuk berume.
Berbagai tantangan nyata memang mengintai: ketersediaan lahan yang terdesak oleh ekspansi sawit, perubahan iklim yang mematahkan siklus musim, serta hama yang sulit dikendalikan. Lebih parahnya lagi, minimnya dukungan dari pemerintah daerah membuat tradisi berume seakan berjalan sendiri, tanpa payung kebijakan yang jelas. Inilah yang menciptakan jurang antara arah kebijakan makro dengan realitas mikro masyarakat desa. Di satu sisi, pemerintah gencar mendorong modernisasi pertanian berbasis sawah. Sedangkan masyarakat Pangkal Niur dengan penuh keyakinan masih berpegang pada tradisi berume. Bukan karena menolak perubahan, tetapi karena mereka percaya bahwa tradisi ini terbukti adaptif terhadap kondisi alam lokal dan mampu menopang kebutuhan pangan keluarga mereka.
Justru dari titik inilah kita perlu melihat Desa Pangkal Niur bukan sebagai komunitas yang “tertinggal,” melainkan sebagai penjaga diversifikasi pangan. Berume adalah
pengetahuan ekologis yang sudah teruji adaptif terhadap lahan kering dan kondisi alam setempat. Jika pemerintah mau membuka ruang kolaborasi, padi ladang dapat menjadi pelengkap ketahanan pangan sekaligus pelestari identitas budaya daerah. Dengan perlindungan kebijakan dari Pemerintah Daerah, tradisi ini akan mampu menghasilkan nilai tambah ekonomi sekaligus memperkuat identitas budaya lokal. Dengan kata lain, berume tidak hanya penting untuk pangan, tetapi juga untuk menjaga jati diri dan kohesi sosial masyarakat.
Melestarikan berume bukan sekadar mengenang masa lalu. Ia adalah investasi masa depan. Saat ketahanan pangan global rentan akibat krisis iklim, tradisi berume bisa menjadi jalan alternatif yang lebih ramah lingkungan, berbasis kearifan lokal, dan berakar kuat pada masyarakat. (*)
Posted in IPTEK
Oleh : Muhammad Iqro’ Attaturk || Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas…
GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG – Penjabat (Pj) Walikota Pangkalpinang menerima penghargaan atas…
GETARBABEL.COM, BANGKA BARAT –Kepolisian Resor (Polres) Bangka Barat Provinsi Kepulauan…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…