Opini || Kalau Cinta Bisa Viral, Apakah Cerai Bisa Jadi Trending? Refleksi dari Ruang Sidang Agama

IMG-20250604-WA0038

Oleh: Muhammad Fahri || Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Di zaman ketika segala sesuatu bisa menjadi viral—dari pernikahan mewah, lamaran kejutan, hingga pesta gender reveal dengan kembang api—ada satu sisi kehidupan yang masih enggan dibicarakan di ruang publik: perceraian. Cinta bisa dipamerkan di Instagram, tapi perceraian disembunyikan di balik tirai ruang sidang agama. Masyarakat kita seolah belum siap menjadikan perceraian sebagai bagian dari narasi yang wajar dalam kehidupan sosial, apalagi dalam sudut pandang hukum. Padahal, di balik setiap cinta yang viral, ada pula perceraian yang nyaris tak terdengar.

Di ruang-ruang sidang Pengadilan Agama di seluruh Indonesia, setiap hari ada ratusan pasangan yang datang dengan hati remuk, membawa sisa-sisa ikatan yang dulu disahkan oleh penghulu dan undang-undang. Mereka mencari satu hal: keadilan. Namun, bagaimana sebenarnya wajah hukum acara agama di Indonesia? Apakah ia sudah cukup manusiawi dan adil? Ataukah masih menjadi belantara prosedural yang membingungkan mereka yang datang bukan sebagai ahli hukum, tetapi sebagai manusia yang terluka?

Hukum acara agama di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang kemudian diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009. Peradilan agama memiliki kewenangan mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan kehidupan umat Islam, seperti perkawinan, warisan, wakaf, hibah, zakat, dan tentu saja, perceraian.
Namun, masyarakat awam sering kali hanya mengenal satu wajah dari peradilan agama: sidang cerai. Bahkan istilah “Pengadilan Agama” sering kali langsung dikaitkan dengan “perceraian”, seolah-olah tak ada fungsi lain dari lembaga ini.

Dalam kenyataannya, hukum acara agama punya potensi besar untuk menjadi sarana penyelesaian konflik secara adil dan beradab, bukan hanya pemutus ikatan, tetapi juga penjaga kehormatan dan hak-hak umat Islam. Namun, sayangnya, banyak proses dalam peradilan agama yang belum sepenuhnya menjangkau masyarakat secara setara. Prosedur yang terkesan formal, rumit, dan menggunakan istilah hukum yang tidak familiar membuat banyak pihak merasa teralienasi. Terutama perempuan dari kalangan ekonomi bawah, yang datang tanpa pengacara, sering kali tanpa pemahaman yang cukup tentang hak-haknya.

Sisi Gelap yang Tak Viral

Di tengah tren digitalisasi, sangat sedikit konten yang mengedukasi publik soal proses perceraian secara hukum. Yang viral hanyalah kisah perselingkuhan selebriti atau perpisahan artis di pengadilan. Padahal, proses cerai gugat, misalnya, sangat memerlukan pemahaman detail tentang prosedur hukum, pengajuan bukti, mediasi, dan konsekuensi hukum terhadap hak asuh anak atau nafkah iddah. Tidak sedikit istri yang akhirnya memilih tidak melanjutkan proses cerai hanya karena takut menghadapi sistem yang membingungkan. Padahal mereka telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran ekonomi, bahkan ancaman psikis yang berat. Proses hukum yang panjang, mahal, dan rumit seolah menjadi tembok besar yang memisahkan mereka dari keadilan.
Dalam hukum acara peradilan agama, mediasi merupakan bagian penting.

Di sinilah sebenarnya terletak nilai-nilai Islam yang mengedepankan perdamaian. Tapi dalam praktiknya, mediasi pun sering kali hanya menjadi formalitas. Pasangan yang sudah kehilangan kepercayaan dan komunikasi, dipaksa duduk berdua, didamaikan oleh mediator yang belum tentu memahami dinamika psikologis mereka.

Sudah saatnya hukum acara agama beradaptasi dengan zaman. Mengapa kita tidak menyediakan platform digital berbasis edukasi bagi mereka yang ingin memahami proses hukum secara mandiri? Aplikasi seperti e-Court memang sudah tersedia, namun terbatas pada akses bagi kalangan yang melek teknologi dan memiliki Nomor Induk Beracara. Padahal, di pelosok-pelosok negeri, masih banyak masyarakat yang bahkan belum pernah bersidang, tidak tahu bagaimana mengisi surat gugatan, atau bahkan tidak mengerti bahwa mereka berhak mendapat keadilan. Di sinilah pentingnya digitalisasi hukum yang berpihak kepada rakyat kecil. Bukan hanya e-Court, tapi juga e-Literasi.

Teknologi sebenarnya membuka peluang untuk mempermudah akses keadilan. Sejak 2019, Mahkamah Agung telah menerapkan e-Court dan e-Litigation, sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2018, yang memungkinkan pengajuan gugatan, pembayaran biaya perkara, hingga persidangan dilakukan secara daring. Bayangkan jika media sosial digunakan untuk menyebarkan pemahaman tentang hak perempuan dalam perceraian, tata cara pembagian harta bersama, atau pentingnya akta cerai yang sah. Mungkin kita akan melihat tren baru: edukasi hukum yang viral dan membebaskan.

Lau isu besar lain dalam peradilan agama adalah ketimpangan relasi kuasa antara suami dan istri. Meski secara normatif hukum Islam sudah memberi perlindungan kepada perempuan, dalam praktiknya masih banyak istri yang kehilangan hak nafkah, hak asuh anak, bahkan harta bersama setelah perceraian. Contohnya, dalam banyak kasus, suami menggugat cerai istri lalu enggan membayar nafkah iddah. Atau dalam kasus cerai gugat, istri yang mengajukan perceraian justru dianggap sebagai pihak yang “bersalah” dan kehilangan hak terhadap anaknya. Ini menjadi catatan penting bahwa hukum acara agama harus mengedepankan keadilan substantif, bukan hanya procedural.

Dalam banyak hal, hakim memiliki peran penting dalam memberikan keputusan yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga berkeadilan sosial. Hakim peradilan agama harus memiliki perspektif gender, pemahaman sosiologis, dan kemampuan komunikasi yang baik. Karena setiap keputusan mereka akan berdampak langsung pada kehidupan anak-anak, perempuan, dan keluarga yang sedang rapuh.

Apakah Cerai Harus Dihindari atau Dihargai?

Pertanyaan mendasarnya adalah: apakah perceraian selalu buruk? Ataukah ia bisa menjadi jalan keluar yang baik bagi dua orang yang tak lagi bisa hidup dalam ikatan yang sehat?

Dalam Islam sendiri, perceraian bukan hal yang diharamkan, melainkan jalan terakhir jika semua usaha mendamaikan gagal. Bahkan, dalam fiqh, ada prosedur-prosedur yang dirancang untuk memastikan perceraian tidak dilakukan secara gegabah—seperti masa iddah, tahapan talak, hingga kewajiban nafkah pasca cerai. Namun, ketika masyarakat lebih memilih menyembunyikan perceraian karena stigma, dampaknya bisa lebih buruk. Anak-anak tumbuh dalam rumah yang penuh pertengkaran. Perempuan hidup dalam ketakutan. Dan laki-laki merasa bebas dari tanggung jawab karena tidak ada penegakan hukum yang tegas.

Di sinilah pentingnya menjadikan perceraian sebagai bagian dari narasi normal dalam kehidupan social bukan untuk dirayakan, tetapi untuk dipahami. Jika cinta bisa dipuji dan disaksikan ribuan orang secara daring, maka perceraian juga berhak mendapat ruang yang manusiawi: ruang untuk didengarkan, dipahami, dan diberikan keadilan.

Ironis memang, bahwa ruang sidang peradilan agama yang tiap harinya dipenuhi dengan kisah pilu, luka, dan harapan masih terasa begitu sunyi dalam diskursus publik. Kita lebih suka membicarakan resepsi daripada putusan hakim. Kita lebih senang menyebarkan foto prewedding daripada surat cerai yang sah secara hukum. Padahal, ruang sidang agama adalah cermin masyarakat kita. Di sana, cinta diuji bukan hanya dengan perasaan, tetapi dengan hukum. Di sana, keadilan bukan hanya soal hitam di atas putih, tapi tentang hati yang pernah disatukan, kini mencari penyelesaian yang adil. Maka, kalau cinta bisa viral,

apakah cerai bisa jadi trending? Mungkin tidak dalam arti sensasional. Tapi sebagai refleksi, sebagai ruang belajar, sebagai jalan menuju masyarakat yang lebih dewasa secara hukum dan social kenapa tidak? Karena pada akhirnya, cinta yang baik memang perlu disaksikan. Tapi perceraian yang adil juga perlu dihormati. (*)

Posted in

BERITA LAINNYA

Full Senyum, Molen Muncul Bareng Istri Pasca Kalah versus Kolom Kosong

GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG – Calon Walikota Pangkalpinang, Maulan Aklil (Molen) terlihat…

Capai Akreditasi Unggul, Polman Babel Gelar Workshop Kurikulum Berbasis OBE

GETARBABEL.COM, BANGKA — Politeknik Manufaktur Negeri Bangka Belitung (Polman Babel)…

Hati-hati, Pohon Bambu Belakang Stadion OROM Condong Ganggu Kendaraan Lewat

GETARBABEL.COM, BANGKA — Para pengemudi bus dan truk yang akan…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI