Akad Mudharabah dan Hak Tanggungan (Telaah Kritis Hukum Syariah dan Hukum Positif)

IMG-20251001-WA0038

Oleh : Fachrizal || Pelaku Ekonomi Kecil

Praktik perbankan syariah sangat familiar dengan akad Mudharabah. Sekalipun akad ini kalah pamor dengan akad-akad lain semisal akad murabahah, ijarah, Al Qardh atau Musyarakah akan tetapi dalam tataran praktis akad ini pernah digunakan oleh perbankan syariah.

Tulisan ini mencoba mengulas akad Mudharabah yang dikaitkan dengan Hak Tanggungan. Stressing dari tulisan ini adalah ketika usaha nasabah yang dibiayai dengan akad Mudharabah tersebut mengalami kerugian, yang mana kerugian tersebut karena risiko bisnis, apakah Hak Tanggungan yang didasarkan dengan akad Mudharabah bisa dieksekusi?

Pertanyaan pertama untuk menjawab persoalan diatas adalah apakah akad Mudharabah itu ? Akad pada perbankan syariah dalam hukum positif sama dengan perjanjian. Mudharabah adalah perjanjian kerjasama antara pihak bank dalam hal ini sebagai pemilik modal dengan nasabah yang bertindak sebagai pengelola dana untuk melakukan suatu usaha tertentu dan membagi keuntungan dan kerugian sesuai dengan kesepakatan.

Ciri utama dari akad ini adalah bahwa keuntungan jika ada akan dibagi antara investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian jika ada akan ditanggung sendiri oleh investor. Secara sederhana Mudharabah dapat dipahami sebagai akad dimana bank penyedia dana secara penuh dan dan nasabah sebagai pengelola dana tersebut utk usah tertentu dan pihak bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha dan bank menanggung seluruh risiko dari usaha tersebut kecuali nasabah melakukan kecurangan, lalai atau manipulasi dalam usaha.

Atas dana yang telah disalurkan tersebut bank dapat meminta jaminan atau agunan untk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad. Jaminan tersebut biasanya oleh pihak bank diikat dengan Hak Tanggungan.

Mengacu pada pasal 1 ayat 1 UU HT no 4 tahun 1996 yang menyatakan bahwa Hak Tanggungan diberikan untuk pelunasan suatu utang tertentu. Ini berarti bahwa perjanjian pokok yang merupakan dasar dari pemberian Hak Tanggungan diadakan untuk menjamin pelunasan utang.

Pertanyaan kritisnya adalah apakah Mudharabah merupakan perjanjian utang? Secara redaksional bahwa akad Mudharabah adalah akad kerjasama bukan akad utang piutang.

Berdasarkan pasal 3 ayat 1 UUHT bahwa utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan harus dibuatkan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan utang piutang.

Berdasarkan pasal 10 ayat 1 UUHT yang menyatakan bahwa perjanjian HT harus didahului dengan janji utk memasang Ham Tanggungan utk menjamin pelunasan utang yang dibuat dan merupakan satu kesatuan dengan perjanjian pokoknya yang berupa perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan utang piutang.

Jika mengacu pada pasal 1, pasal 3 dan pasal 10 diatas yang pada intinya menyatakan bahwa adanya perjanjian Hak Tanggungan utk menjamin pelunasan utang, namun dlm UU tersebut tidak dijelaskan apakah utang dimaksud adalah pengertian utang secara sempit, luas atau sangat luas .

Menurut pengertian yang sangat luas piutang adalah setiap tagihan baik yang didasarkan pada perjanjian kerjasama maupun kepada undang-undang yg tidak merupakan tagihan sejumlah uang saja. Pendeknya piutang merupakan tuntutan atas suatu prestasi yang didasarkan pada perjanjian maupun UU.

Berdasarkan hal ini berarti Mudharabah adalah akad atas suatu prestasi dari bank kepada nasabah . Maka akad Mudharabah telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1,3 dan 10 UUHT.

Namun jika mengacu kepada prinsip dasar fungsi jaminan dalam Islam bahwa jaminan yg diberikan oleh nasabah kpd bank dalam akad Mudharabah hanya sebagai jaminan bahwa nasabah tidak akan melakukan penyimpangan. Sesuai dengan kedudukannya, maka fungsi jaminan dalam akad Mudharabah tidak sama dengan fungsi jaminan dalam perbankan konvensional yang dijamin oleh jaminan dalam akad Mudharabah adalah tidak adanya penyimpangan atau pelanggaran atas akad.

Oleh karena itu fungsi jaminan dalam akad Mudharabah adalah menjamin terlaksananya akad . Maka jika debitur menderita kerugian yang disebabkan oleh kerugian bisnis bukan karena kelalaian debitur, maka jaminan tidak dapat dilelang utk menutup kerugian sekalipun telah dipasang dengan HT.

Simpulan dari penjelasan diatas adalah bahwa akad Mudharabah bisa menjadi dasar dari pemberian HT namun jaminan hanya bisa dieksekusi bila usaha tersebut mengalami kerugian yg disebabkan karena kecurangan, kelalaian atau kesalahan dari debitur. Sepanjang kerugian tersebut karena risiko bisnis maka HT tidak bisa dijalankan. (*)

Posted in

BERITA LAINNYA

Jasad Karyawan Perkebunan Sawit PT GML Ditemukan Tim SAR Gabungan, Ada Luka Cakar di Punggung

GETARBABEL.COM, BANGKA — Upaya pencarian terhadap Samiun (42), karyawan perusahaan…

Mendagri Apresiasi Inflasi Babel Terendah se-Indonesia

PANGKALPINANG—Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mendapat apresiasi yang tinggi dari Mendagri,…

Menghadapi Pemilukada 27 November 2024, Mulkan Tegaskan Nama Calon sedang Disurvei oleh Partai

GETARBABEL.COM, BANGKA — H Mulkan SH selaku Mantan Bupati Bangka…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI