Tangis Kosmis Di Ujung Ramadhan (16): Tafsir Metafisik Kesejajaran Planet

images

Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI

PADA 17 April 2025 ini langit menyajikan sebuah peristiwa kosmik yang menakjubkan: empat planet besar—Jupiter, Saturnus, Mars, dan Venus—bersejajar dalam garis lurus, menggambarkan keharmonisan alam semesta yang hanya bisa dipahami dengan mata hati. 

Carl Sagan, astronom yang menggali relasi manusia dengan kosmos, pernah berujar: “Kita adalah cara alam semesta mengenali dirinya sendiri.” 

Fenomena ini bukan sekadar pertunjukan visual; ia adalah cermin bagi manusia untuk merefleksikan posisinya dalam skema kosmis yang lebih besar.  

Bagi sebagian orang, fenomena ini hanya sebuah pemandangan indah. Namun bagi mereka yang memiliki kesadaran lebih, ini adalah isyarat langit yang membawa pesan jauh lebih dalam. 

Albert Einstein mengingatkan: “Dia yang tidak bisa lagi merasakan keheranan dan kekaguman, sama seperti mati; matanya telah tertutup.” 

Kesejajaran planet ini mengajak kita keluar dari kebutaan rutinitas, mengingatkan umat manusia akan keteraturan yang sering terlupakan di tengah kekacauan dunia.  

Ini bukan sekadar momen astronomis, tetapi sebuah tafsir kosmis yang memperlihatkan betapa pentingnya keselarasan antara dunia fisik dan dunia batin. 

Al- Qur’an Surah Al-Imran Ayat 190 menegaskan: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” 

Jika alam semesta tunduk pada hukum yang harmonis, mengapa manusia justru terperangkap dalam disharmoni?  

Ramadhan, bulan yang suci ini, menyimpan lebih dari sekadar pelajaran tentang puasa dan ibadah. Ia adalah waktu untuk menyelaraskan diri dengan Allah, untuk mengingatkan hati yang sering kali tercerabut dari hikmah dan kesucian. 

Sebuah momen ketika langit berbisik, mengingatkan tanggung jawab kita untuk kembali ke jalan yang benar, meski dunia ini penuh dengan kebingungan. 

Di sinilah Ramadhan menjadi lensa: bulan di mana manusia dilatih untuk melihat dengan mata Tuhan—mata yang memandang keadilan, kesabaran, dan kasih.  

Namun, saat kita memperhatikan fenomena ini, kita tidak dapat menahan diri untuk bertanya: apakah umat manusia, dalam keterburuannya mengikuti arus zaman, masih mampu melihat isyarat yang diberikan oleh alam? Fenomena empat planet yang bersejajar pada 17 April ini bukan hanya tanda kosmik; ia adalah isyarat spiritual yang lebih dalam.  

Planet-planet yang bergerak dalam orbitnya mengajarkan batas; sementara manusia, dalam keserakahannya, melanggar batas-batas itu: merusak alam, menindas sesama, dan melupakan Tuhan.  

Dialog Rumi, Iqbal, dan Syekh Imran

Dalam ruang metafisik yang terentang melampaui batas waktu dan ruang, tiga sosok besar: Rumi, Iqbal, dan Syekh Imran Hosein, duduk bersama, menyaksikan kejadian ini. 

Mereka berbicara bukan hanya tentang bintang-bintang yang sejajar, tetapi tentang bagaimana umat manusia harus menyelaraskan dirinya dengan hukum-hukum alam semesta yang lebih tinggi.  

Rumi, dengan pandangannya yang penuh kasih, membuka pembicaraan: “Lihatlah, keempat planet ini berbaris, masing-masing memainkan perannya di alam semesta yang lebih besar, seperti perasaan-perasaan dalam hati manusia. Ketika hati kita sejajar dengan Tuhan, kita menemukan kedamaian yang tak tergoyahkan. Bintang-bintang ini adalah cermin dari jiwa kita: mereka sejajar hanya ketika kita juga sejajar dengan Kehendak Ilahi.”

Iqbal, yang memandang kebangkitan umat sebagai bagian penting dari perjalanan manusia, menambahkan:  

“Memang, Rumi, kedamaian itu datang dari keselarasan dengan Tuhan. Namun, keselarasan itu bukan hanya internal: ia harus diwujudkan dalam dunia ini, dalam tindakan kita. Perhatikan bagaimana planet-planet ini tidak bergerak dalam kekosongan; mereka mengikuti hukum alam yang telah ditetapkan. 

Seperti kata Lao Tzu: “Manusia mengikuti hukum bumi, bumi mengikuti hukum langit, langit mengikuti hukum Tao, Tao mengikuti hukum alamnya sendiri.” Begitu pula manusia, kita harus mengikuti Hukum-hukum Ilahi yang tertulis dalam fitrah kita.”

Syekh Imran Hosein, dengan keprihatinannya tentang akhir zaman, menyela: “Namun, kita tidak boleh lengah. Planet-planet ini bersejajar, tetapi apakah kita melihat di baliknya?

Nabi Muhammad SAW bersabda: ‘Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.’ Tapi umat kini lebih sibuk mengenali gadget daripada diri mereka sendiri! 

Dajjal, sistem yang telah merasuki dunia kita, mencoba memecah belah keselarasan ini. Kita harus lebih dari sekadar melihat ke langit. Kita harus melihat dengan mata hati: apakah umat ini sudah siap untuk bangkit dari ilusi yang telah lama menyelimuti mereka?

Rumi mengangguk, lalu merujuk pada Einstein: “Benar, Syekh. Seperti kata ilmuwan besar abad ini, ‘Tuhan tidak bermain dadu dengan alam semesta.’ Setiap fenomena adalah pesan. Langit yang diam ini sebenarnya berteriak, dalam bahasa orbit, gravitasi, dan cahaya, tetapi manusia terlalu sibuk mendengarkan deru mesin kapitalisme.”

Menjelang Senyap Langit Terakhir

Langit kini tidak hanya berbinar. Ia bergetar. Planet-planet masih sejajar, tapi langit bersuara dalam diamnya. Di suatu tempat antara waktu dan alam, tiga jiwa bersua:  

Rumi: “Wahai dua putra masa depan, kusaksikan cakrawala itu menghitam bukan karena malam, tapi karena beban darah yang akan tumpah. 

Victor Frankl, korban Holocaust, pernah menulis: ‘Di antara rangsangan dan respons, terdapat ruang. Di ruang itulah kebebasan kita untuk memilih.’ 

Di Ramadhan terakhir sebelum badai sejarah, apakah umat ini masih punya ruang untuk memilih kebenaran?

Iqbal: “Aku telah menyeru khudi (diri), tapi kini kulihat dunia kembali menjadi budak. Fyodor Dostoevsky mengingatkan: ‘Tanpa Tuhan, segalanya diperbolehkan.’ 

“Lihatlah Barat! Mereka menciptakan tuhan baru bernama teknologi, sambil melupakan bahwa teknologi tanpa moral adalah jalan menuju kehancuran.”

Syekh Imran Hosein: “Ketika Ya’juj dan Ma’juj dilepaskan, para ulama yang seharusnya menuntun malah menjadi penjaga tirai kegelapan. Tapi aku tidak bersuara karena marah. Aku bersuara karena cinta.”

Kahlil Gibran berkata: ‘Cinta yang tidak bertindak adalah cinta yang mati.’ Maka, cinta kita pada umat harus diwujudkan dalam peringatan dan perjuangan.”

Seperti kata Hildegard von Bingen: ‘Manusia adalah cermin yang memantulkan cahaya Tuhan ke seluruh alam.’ Jika planet-planet bisa sejajar, mengapa manusia tidak?”

Rumi menutup dengan bisikan abadi: “Maka kepada mereka yang membaca ini, wahai para ruh yang masih mencari cahaya: jangan hanya melihat langit, jadilah cermin langit!”

Epilog: Sanggupkah Manusia Modern Membaca Ayat-ayat Langit?

Tidak sedikit tradisi spiritual yang memahami bahwa langit adalah kitab terbuka, dan benda-benda langit adalah Ayat yang menunggu ditafsirkan.

Apakah manusia modern masih sanggup membaca Ayat-ayat langit ini? Ataukah mata hatinya sudah terlalu kabur oleh polusi cahaya teknologi dan keramaian suara digital? 

Al-Ghazali berkata: “Qalb itu seperti cermin. Jika bersih, ia memantulkan wajah Ilahi. Jika kotor, ia kehilangan pantulan-Nya.” Maka, kemampuan melihat makna kosmis tidak semata soal penglihatan, tetapi kebeningan batin.

Keselarasan gerak empat planet bukan kebetulan kosong. Dalam kebijaksanaan kosmologi tradisional, sebagaimana ditegaskan oleh Seyyed Hossein Nasr: “To desacralize the cosmos is to blind oneself to the signs of God.” 

Maka, ketika kita menyaksikan planet-planet sejajar, semesta sesungguhnya sedang mengingatkan manusia untuk kembali menyelaraskan batinnya. Jika langit mampu teratur dalam orbitnya, mengapa manusia sering kacau dalam hidupnya?

Ibn Arabi berkata: “The cosmos is a shadow of the Real. If you see well, you see Him.” Maka, ketika Venus, Mars, Saturnus, dan Neptunus tampak berbaris, sesungguhnya yang sejajar bukan hanya planet-planet, tetapi juga bayang-bayang tatanan spiritual yang mengundang manusia untuk kembali kepada realitas sejatinya.

Mungkin ada yang mengejek perenungan semacam ini sebagai tafsir yang mengada-ada. Namun seperti ditegaskan oleh Nasr Hamid Abu Zayd: “Makna tidak pernah statis. Makna adalah proses hidup yang terus bergeser dan berkembang seiring konteks.”

Maka, setiap fenomena alam selalu terbuka untuk dimaknai ulang; bukan untuk menyesatkan, tetapi justru demi mendekatkan pada sumber makna sejati.

Seperti kata Rumi: “Ketika langit berbicara dalam keheningan, manusia harus mendengarkannya dengan diam yang paling dalam.” Muhammad Iqbal menimpali: “Bangsa yang tak mampu membaca simbol, akan kehilangan arah dalam sejarahnya.” 

Syekh Imran menambahkan: “Zaman ini adalah zaman ketika simbol akhir zaman menjadi kenyataan. Bacalah tanda-tanda itu, bukan dengan mata lahir, tapi dengan bashirah.”

Kini, planet-planet telah menyampaikan pesannya. Langit telah berbicara. Tapi apakah kita telah mendengarkan? Atau kita masih sibuk memoles citra dan meneguk fatamorgana dunia, padahal langit sudah memberi isyarat bahwa waktu hampir habis?

والله أعلم  

MS 17/04/25

(Foto: ilustrasi/IST)

Posted in

BERITA LAINNYA

Silaturahmi dengan Media, Pj Wako Budi Utama Harap Pemberitaan Berimbang

GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG –– Pemkot Pangkalpinang mengadakan kegiatan audensi dan silaturahmi…

Ungkap Penyelundupan 273 Karung Pasir Timah, Polres Bangka Barat Kerjasama PT Timah hingga Interpol

GETARBABEL.COM, BANGKA BARAT — Pihak Polres Bangka Barat, terus melakukan penyelidikan…

Sholat Ied di Masjid Agung Sungailiat, KH Saiful Zuhri; Tugas Utama Manusia, Beribadah dan Mengatur

GETARBABEL.COM, BANGKA- Pelaksanaan ibadah sholat sunnah Idul Fitri 1446, digelar…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI