Opini || Pelajaran Kasus Nista Berjubah Agama

IMG-20241113-WA0175_11zon

Oleh: Satera Sudaryoso || Guru Ngaji Madin Tahfiz Insan Cita

BELUM tuntas kasus bejat Sudirman di Tangerang, kasus pedofilia guru ngaji di Sungailiat tengah mendapat sorotan tajam dari publik. Bukan sebatas kecaman publik dituju kepada si guru ngaji yang nista, akan tetapi, ketidakpercayaan kepada figur ustadz, da’i (ulama), pengasuh pondok, dan lembaga pendidikan Islam menjadi sesuatu yang sulit dielak. Terkait ini, kolega berseloroh, “Memakai jubah ke masjidpun sekarang malu lantaran masalah ini”. 

Kasus bejad di luar nalar tersebut memang sangat miris dan menyayat hati. Pasalnya, guru agama yang harusnya menjadi teladan akhlak dan sumber ilmu yang bisa diraih, justru menjadi monster yang dapat membunuh karakter dan masa depan sejumlah murid yang menjadi korban. 

Hal ini memang sulit diterima. Tetapi begitulah faktanya hari ini. Mengecam dengan kecaman keras, penting untuk dilakukan. Dan mengambil pelajaran dan hikmah darinya, juga menjadi sesuatu yang sangat relevan untuk ditindaklanjuti. Supaya kedepan, tidak terjadi lagi pelbagai bentuk tindakan asusila kepada siapapun dan dimanapun. Apalagi menyangkut identitas agama yang suci dan hal-hal terkait dengannya.  

Publik tak perlu mengkerdilkan keluhuran profesi guru ngaji, ustadz, da’i, dan lembaga Islam yang ada. Karena oknum penista, tidaklah mewakili apa yang selama ini dipertaruhkan oleh para pejuang agama. Cukup mengecam aksi bejat pelaku, tidak profesi dan label agama yang disandangnya secara keliru.    

Berangkat dari kasus miris ini, setidaknya, ada beberapa catatan penting yang perlu dimunculkan. Bukan dimaksud untuk membela atau menuding siapapun, akan tetapi lebih tertuju pada adanya poin-poin penting yang bisa dijadikan acuan untuk menentukan sikap dan pilihan terbaik yang hendak diambil. 

Pertama, sikap selektif dan hati-hati. Kasus pedofilia Abi Sudirman dan oknum guru ngaji di Babel ini, mengajarkan kita supaya bisa selektif dan berhati-hati dalam menitipkan anak. Profil dan rekam jejak sang guru atau pengasuh, harus benar-benar diperhatikan. Siapa sosok guru yang mengampu pembelajaran haruslah jelas dan terang—dimana ia menamatkan pendidikan, siapa gurunya, dan bagaimana kecakapan pemahamannya—harus menjadi sesuatu yang terang. Rekam jejak guru ngaji (ustadz) yang buram, berimbas kepada banyak hal. Bukan sebatas pemahaman keliru yang bisa didapat, korban nafsu bejat guru abal-abal menjadi ancaman nyata yang bisa menghantam. Dan ini sudah banyak terjadi. 

Paralel dengan itu, geliat donasi yang besar dari publik harus benar-benar dituju kepada lembaga atau tempat tertentu yang juga terang dan jelas. Publik perlu melihat bagaimana profil detail lembaga yang akan dibantunya—bagaimana legalitasnya, siapa pengelolanya, dan bagaimana dana digunakan—supaya dana yang disalurkan tidak salah alamat dan digunakan tidak secara semestinya. Kasus donasi publik yang disalurkan ke lembaga yang berafiliasi terorisme tempo lalu menjadi pelajaran berharga bagi semua. 

Kedua, pelibatan banyak lembaga terkait. Kasus-kasus asusila yang merusak citra lembaga agama—guru ngaji, ustadz, da’i, pengasuh pondok, panti, rumah tahfiz, dan lembaga pendidikan Islam lainnya—memungkinkan untuk dilakukan kerja sama banyak pihak terkait, utamanya pihak Aparat Penegak Hukum (APH), LSM semisal Women Crisis Center (WCC), Komisi Perlindungan Anak Indonesia, MUI, Kementrian Agama, dan pemerintah terkait. Keterlibatan banyak pihak ini dilakukan dengan kesepakatan bersama berupa seperangkat SOP terkait aspek pencegahan dan penanganan kasus pelanggaran asusila. Giat monitoring dari sejumlah lembaga tadi berdasar juknis SOP yang dibuat, menjadi panduan penting supaya celah kemungkaran nyata ini tidak terjadi. Sebut saja misalnya—ketersediaan CCTV di pondok dan tulisan besar berupa “Pondok anti pelanggaran seksual”, penyuluhan rutin, monitoring berjadwal, sosialisasi dan advokasi seputar pelanggaran seksual kepada santri dan pengasuh dari sejumlah pihak tadi—dilakukan secara kontinyu dan berkala. 

Tampaknya, aspek-aspek semacam ini, menjadi hal positif yang bisa dilakukan oleh pihak-pihak terkait supaya kasus sodomi, pedofilia, dan tindakan asusila dunia pendidikan agama tidak berulang terjadi. Dan secara pribadi, atau atas nama pengelola dan pengasuh lembaga pendidikan agama, penulis siap berkomitmen untuk merealisasi ini bersama sejumlah pihak tadi supaya lembaga yang diampu dapat berjalan sejalan dengan aturan dan cita-cita bersama. Semoga []

Posted in

BERITA LAINNYA

Polres Bangka Pantau Tempat Nongkrong dan Mabuk-mabukan Pemuda di Sungailiat

GETARBABEL.COM, BANGKA — Dalam menciptakan situasi kamtibmas yang aman dan…

HIPKA Babel Siapkan Pelatihan Tutor Bahasa Inggris Gratis untuk Anak Petani

PANGKALPINANG—Dalam upaya menciptakan kualitas generasi muda pertanian di Kepulauan Bangka…

Ternyata CV Aldrian Putra Sejahtera Pemenang Lelang Gedung Samsat Payung, Hari Ini Terakhir Masa Sanggah

GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG– Pelelangan Pembangunan Gedung Samsat Pembantu Kecamatan Payung UPT…

POPULER

HUKUM

mediaonlinenatal2024ok

IPTEK

PolitikUang-Copy

TEKNOLOGI