Jelang Pilkada 2024, Polres Bangka Siaga Jaga Kantor KPU dan Bawaslu
By beritage |
GETARBABEL.COM, BANGKA — Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bangka 2024,…
Sunday, 19 October 2025
Oleh: Institut Kosmologi dan-Eskatologi Profetik (IKEP)
🏛️ PROLOG: PARADOKS PENDIDIKAN TINGGI
Universitas modern disebut-sebut sebagai benteng kebebasan akademik, namun kenyataannya membangun tembok epistemologis yang menyingkirkan kajian eskatologi—ilmu tentang akhir zaman yang justru menjadi dimensi fundamental bagi peradaban spiritual.
Ironinya, teori kosmologi multiverse yang belum terbukti dapat dibahas bebas di ruang kuliah, tetapi diskusi serius tentang akhirat, fitnah Dajjal, atau masa akhir peradaban manusia sering dianggap tidak ilmiah. Padahal, bagi miliaran manusia, inilah pertanyaan paling eksistensial.
Akademisi sibuk memproduksi riset empiris yang terfragmentasi, namun gagal menjawab pertanyaan paling mendasar: ke mana arah sejarah manusia dan apa tujuan akhirnya?
🎓 KASUS SYEKH IMRAN HOSEIN: ANTARA DISERTASI YANG TERHENTI DAN KELAHIRAN EPISTEMOLOGI ESKATOLOGIS
Kisah Syekh Imran Nazar Hosein adalah contoh paradigmatik dari benturan antara paradigma akademik modern dan epistemologi profetik Islam.
Lahir di Trinidad dan Tobago (1942), ia menempuh pendidikan Islam di Aleemiyah Institute of Islamic Studies, Karachi, dan melanjutkan studi sosial-politik di University of the West Indies.
Setelah menyelesaikan studi magister dengan fokus pada filsafat ekonomi Islam, ia diterima di Graduate Institute of International and Development Studies, Geneva (Swiss) untuk menempuh program doktoral.
Namun, program itu tidak dapat ia selesaikan karena tema disertasinya—yang berupaya mengaitkan ekonomi global modern dengan nubuwah akhir zaman—dianggap sulit diverifikasi secara metodologis dalam paradigma akademik positivistik.
Syekh Imran menghadapi kenyataan bahwa tidak ada rujukan akademik yang memadai dan promotor yang bersedia menilai gagasannya secara epistemologis.
Dari sinilah lahir kesadaran baru: bahwa ilmu profetik tidak dapat dijustifikasi sepenuhnya oleh metodologi Barat sekular.
Kegagalan menyelesaikan disertasi di Swiss justru menjadi titik balik spiritual dan intelektual yang melahirkan karya monumental Jerusalem in the Qur’an (2001)—sebuah karya lintas disiplin yang memadukan tafsir Al-Qur’an, sejarah geopolitik, dan analisis moneter internasional.
Buku tersebut menjadi tonggak “epistemologi eskatologis Islam”, menjembatani teks wahyu dengan realitas global kontemporer, dan menginspirasi lahirnya tradisi keilmuan alternatif yang kini berkembang di luar kampus formal.
🔬 INKOMPATIBILITAS PARADIGMATIK
Paradigma akademik modern dibangun di atas fondasi positivisme—hanya mengakui realitas yang dapat diamati, diukur, dan diuji.
Sementara eskatologi Islam bersifat trans-historis, menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan, serta menjembatani dunia empiris dan metafisik.
Inilah titik ketegangan:
Akademia modern menuntut objektivitas terukur, sedangkan eskatologi menuntut kesadaran transendental.
Sains modern bekerja dengan pemisahan antara fakta dan nilai, sedangkan wahyu menyatukan keduanya.
Akademia menekankan spesialisasi sempit; eskatologi justru lintas disiplin—menggabungkan teologi, geopolitik, ekonomi, dan sejarah.
Ketidaksepadanan ini disebut Thomas Kuhn sebagai incommensurability—ketidakmungkinan dua paradigma menilai kebenaran dengan tolok ukur yang sama.
📊 MEKANISME PENYINGKIRAN INSTITUSIONAL
Sistem akademik modern memiliki mekanisme halus untuk menyingkirkan kajian eskatologi:
Peer review dikontrol oleh pengawal paradigma mainstream, sehingga karya yang keluar dari jalur empiris sulit diterima.
Kurikulum terfragmentasi mencegah pendekatan holistik.
Jurnal bereputasi internasional menolak metodologi yang mengandung unsur metafisik.
Klaim netralitas ilmiah justru menjadi alat sekularisasi ilmu, mereduksi dimensi spiritual menjadi sekadar fenomena psikologis atau budaya.
Hasilnya, umat Islam melahirkan dua kutub yang terpisah—ulama kampus dan ulama umat, keduanya jarang bertemu dalam satu ruang epistemik yang utuh.
🌐 DAMPAK TERHADAP KAJIAN ISLAM KONTEMPORER
Marginalisasi eskatologi menciptakan krisis otoritas keilmuan di dunia Islam.
Kajian Islam terpecah antara yang sangat teknis dan yang sangat teologis, tanpa integrasi visi peradaban.
Dalam situasi ini, karya-karya seperti milik Syekh Imran menjadi counter-discourse yang menawarkan worldview alternatif: bahwa masa depan dunia bukan sekadar hasil mekanisme ekonomi-politik, tetapi juga panggung penyingkapan kebenaran profetik.
💡 RESISTENSI DAN ALTERNATIF
Penolakan institusional justru memicu lahirnya jaringan keilmuan non-formal yang lebih organik.
Majelis ilmu tradisional, lembaga independen, hingga komunitas riset daring, seperti Institute of Prophetic Cosmology and Eschatology (IPCE), kini menjadi pusat pengembangan ilmu yang menyatukan wahyu dan realitas kontemporer.
Di era digital, batas antara kampus dan publik mulai runtuh. Diskursus profetik menemukan ruang baru di luar tembok akademia—lebih bebas, lintas disiplin, dan berakar pada kesadaran spiritual.
🚀 MENUJU EPISTEMOLOGI INTEGRATIF
Krisis ini menuntut lahirnya model baru ilmu yang menyatukan dimensi spiritual dan empiris:
Geoprophetic Methodology — menggabungkan geopolitik global dengan bacaan profetik Al-Qur’an dan Hadits.
Transdisciplinary Framework — menjembatani ilmu-ilmu sosial, ekonomi, dan teologi tanpa kehilangan identitas masing-masing.
Reconciled Epistemology — merekonsiliasi wahyu, rasio, intuisi, dan pengalaman empiris dalam hirarki yang proporsional.
Civilizational Studies — menempatkan sejarah peradaban dalam horizon teleologis (arah menuju tujuan akhir).
🌈 EPILOG: MENUJU AKADEMIA PROFETIK
Kegagalan Syekh Imran Hosein menyelesaikan disertasi di Swiss tidak dapat disebut kegagalan akademik, melainkan pembebasan epistemologis dari kungkungan positivisme Barat.
Ia menjadi simbol perlawanan intelektual terhadap hegemoni materialistik yang menutup ruang bagi ilmu yang berorientasi akhirat.
Di tengah krisis multidimensi dunia modern, kebangkitan kesadaran profetik menawarkan jalan baru: akademia profetik—suatu ekosistem ilmu yang menilai keberhasilan bukan dari indeks sitasi atau jurnal bereputasi, melainkan dari sejauh mana ilmu itu menuntun manusia menuju kebenaran dan keselamatan akhir.
والله أعلم بالصواب
🌐 Institute of Prophetic Cosmology and Eschatology (IPCE)
Kolaborasi Manusia–AI: Serial INDONESIA DALAM GEJOLAK TRANSISI GLOBAL
Cirebon, 19 Oktober 2025
Posted in IPTEK
GETARBABEL.COM, BANGKA — Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bangka 2024,…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Tim gabungan terdiri dari Polres Bangka dan…
Oleh : EDI SETIAWAN, M.Si || Ahli Pengadaan Barang Jasa…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…