Ironi Hari Kesaktian Pancasila dalam Konteks Bangka Belitung

IMG-20251001-WA0023

Oleh: R. Azhari || Ketua UMUM HMI Komisariat Tarbiyah IAIN SAS BABEL Cabang Babel Raya

Hari Kesaktian Pancasila diperingati setiap tanggal 1 Oktober di Indonesia. Peringatan ini muncul sebagai bentuk penghormatan terhadap Pancasila yang dianggap mampu menyelamatkan bangsa dari ancaman ideologi lain, khususnya komunisme yang berusaha menggantikan dasar negara. Setelah peristiwa G30S, pada tahun 1966 pemerintah menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila melalui Keputusan Presiden. Hari ini bukan sekadar peringatan duka, tetapi simbol keteguhan bangsa dalam mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara.

Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia yang memiliki kedudukan fundamental dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai ideologi bangsa, Pancasila bukan hanya hasil pemikiran filosofis, tetapi juga refleksi dari nilai-nilai budaya, agama, dan tradisi masyarakat Indonesia yang beragam. Penetapan Pancasila pada 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara menunjukkan konsensus politik seluruh elemen bangsa untuk menjadikannya fondasi kehidupan nasional.

Secara formal, bangsa Indonesia telah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Namun, kemerdekaan substantif—yakni kebebasan dari kemiskinan, ketidakadilan, dan diskriminasi—belum sepenuhnya dirasakan oleh seluruh rakyat. Ungkapan “merdeka hanya pada mereka yang berkuasa” mencerminkan kritik terhadap realitas sosial, di mana kekuasaan, modal, dan jaringan politik masih menjadi penentu utama akses terhadap kesejahteraan.
Ungkapan “merdeka hanya pada mereka yang berkuasa” menjadi refleksi bahwa kemerdekaan substantif seringkali hanya dirasakan oleh segelintir elite politik, ekonomi, dan sosial. Bagi sebagian besar rakyat kecil, kemerdekaan masih terbatas: terbelenggu kemiskinan, tidak terlindungi secara hukum, serta tidak berdaya melawan kepentingan pemilik modal.

Di Bangka Belitung, misalnya, pengelolaan tambang timah yang merupakan salah satu sumber daya alam strategis lebih banyak dikuasai oleh pemilik modal dan elite politik. Masyarakat lokal, terutama nelayan dan buruh tambang, justru mengalami keterpinggiran dan kerentanan sosial. Kondisi ini menunjukkan adanya ketimpangan struktural yang bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Perspektif Pancasila terhadap Ketimpangan Kemerdekaan

  1. Sila Pertama – Ketuhanan Yang Maha Esa
    Sila pertama mengajarkan bahwa kekuasaan adalah amanah Tuhan yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab moral. Namun, praktik politik dan ekonomi di Indonesia seringkali menunjukkan penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Eksploitasi tambang di Bangka Belitung yang merusak lingkungan dan mengabaikan kelestarian ciptaan Tuhan merupakan bentuk pengingkaran terhadap sila ini. Dengan demikian, kemerdekaan yang hanya dimiliki elite merupakan bentuk kegagalan menempatkan kekuasaan sebagai sarana ibadah dan pengabdian.
  2. Sila Kedua – Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
    Kemerdekaan harus menjamin terpenuhinya hak dasar manusia. Namun, dalam realitas, banyak pekerja tambang dan masyarakat pesisir tidak memperoleh hak-hak normatif, seperti upah layak, jaminan sosial, dan perlindungan hukum. Fenomena ini membuktikan bahwa kemerdekaan substantif belum merata, karena masih ada diskriminasi dalam akses terhadap kesejahteraan. Penerapan sila kedua menuntut adanya penghormatan penuh terhadap martabat manusia tanpa memandang status sosial maupun kekuasaan.
  3. Sila Ketiga – Persatuan Indonesia
    Pancasila menekankan pentingnya persatuan sebagai fondasi bangsa. Namun, konflik horizontal terkait perebutan lahan tambang di Bangka Belitung memperlihatkan adanya ancaman terhadap persatuan. Ketika hasil sumber daya alam hanya dikuasai segelintir pihak, rasa keadilan sosial hilang, sehingga memunculkan kecemburuan dan perpecahan. Oleh karena itu, sila ketiga menuntut adanya distribusi yang adil sebagai perekat persatuan nasional.
  4. Sila Keempat – Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
    Demokrasi Pancasila menekankan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan. Namun, praktik demokrasi sering kali hanya formalitas, karena kebijakan lebih berpihak pada pemilik modal. Dalam konteks Bangka Belitung, masyarakat lokal kurang dilibatkan dalam pengelolaan tambang yang justru memengaruhi kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan politik masih didominasi oleh elite, bertentangan dengan prinsip musyawarah dan perwakilan yang sejati.
  5. Sila Kelima – Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
    Sila kelima merupakan manifestasi konkret dari seluruh sila Pancasila. Namun, kenyataan di Indonesia tahun 2025 menunjukkan masih tingginya kesenjangan sosial. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS, 2025), tingkat ketimpangan (Gini ratio) masih cukup signifikan, dengan sebagian besar kekayaan nasional terkonsentrasi pada 20% penduduk terkaya. Di Bangka Belitung, penguasaan sumber daya alam oleh elite semakin memperlebar jurang sosial. Dengan demikian, “kemerdekaan” dalam arti ekonomi hanya dinikmati mereka yang berkuasa, sedangkan masyarakat kecil tetap dalam kondisi keterbatasan.

PROYEKSI STRATEGIS UNTUK RAKYAT

Fenomena saat ini menjadi kritik sosial yang semakin relevan dalam konteks BANGKA BELITUNG tahun 2025. Kesenjangan ekonomi, ketidakadilan sosial, serta lemahnya representasi politik menimbulkan jurang antara elite penguasa dan rakyat kecil. Dalam kondisi ini, dibutuhkan gerakan nyata untuk rakyat sebagai implementasi langsung dari nilai-nilai Pancasila, agar kemerdekaan tidak sekadar simbolis, tetapi substantif dan dirasakan oleh seluruh warga negara. Gerakan rakyat Babel melawan ketimpangan harus berlandaskan Pancasila sebagai ideologi praksis, bukan hanya slogan. Pancasila bukan hanya teori, tapi pedoman agar kekayaan alam Babel membawa kemakmuran, keadilan, dan keberlanjutan hidup rakyat.
Gerakan nyata untuk rakyat bukan sekadar slogan politik, melainkan sebuah kewajiban moral, konstitusional, dan ideologis. Dalam perspektif Pancasila, gerakan ini adalah wujud konkret dari cita-cita bangsa: mewujudkan keadilan sosial, menghormati martabat kemanusiaan, dan membangun persatuan nasional. Tanpa gerakan nyata, kemerdekaan hanya menjadi milik segelintir elite, sementara rakyat tetap berada di pinggiran sejarah. TUNTUTAN RAKYAT MERDEKA 100%! (*)

Posted in

BERITA LAINNYA

Lalu Lintas Perahu Lancar Lewati Muara Air Kantung Jelitik, Ibu-Ibu Nelayan Gelar Syukuran

GETARBABEL.COM, BANGKA – Puluhan ibu-ibu yang merupakan istri para nelayan…

Tiga Ninja Sawit Diamankan Polsek Kelapa, Dua Hampir Dihakimi Massa

GETARBABEL.COM, BANGKA BARAT — Polsek Kelapa jajaran Polres Bangka Barat…

Mahasiswa Baru Polman Dibina TNI, Dilatih Baris Berbaris hingga Bela Negara

GETARBABEL.COM, BANGKA — Para mahasiswa baru Polman Babel terus menjalani…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI