Pilkada Ulang Bangka 2025: Saat Hukum Jadi Panggung Politik

IMG-20250711-WA0006

Oleh: Zulkarnain Alijudin || Pengamat Politik, Mantan Ketua KPU Bangka

Pilkada Bangka 2025 memiliki dimensi khusus. Selama hampir dua tahun terakhir, Kabupaten Bangka dipimpin oleh Penjabat (Pj) Bupati, tanpa adanya bupati maupun wakil bupati definitif. Kondisi ini membuat Pilkada terasa lebih penting dan lebih sensitif, karena masyarakat menantikan kepemimpinan definitif untuk mengakhiri stagnasi kebijakan dan mempercepat pembangunan yang sempat terbatas oleh peran sementara Pj.

Kemenangan yang Masih Digugat

Hasil rekapitulasi resmi KPU Bangka pada 2 September 2025 menegaskan kemenangan pasangan calon nomor urut 1, H. Fery Insani – Syahbudin (Gerindra–PDIP) dengan selisih suara cukup jauh. Namun, kemenangan itu tidak otomatis menutup pertarungan. Paslon nomor 2, 3, dan 4 langsung menggugat hasil ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 4 September.

Riak politik semakin panas ketika muncul laporan dugaan pemalsuan tanda tangan Ketua DPC Gerindra ke Bawaslu Bangka. Laporan itu kemudian disusul laporan lain yang menambahkan dugaan ijazah palsu dan praktik politik uang. Rentetan ini menegaskan bahwa Pilkada Bangka bukan hanya soal angka, tetapi juga panggung politik pasca-kekalahan.

Bawaslu dalam Tekanan Politik

Para pelapor mendesak Bawaslu bertindak cepat, tegas, dan segera berkoordinasi dengan Gakkumdu. Bahkan muncul pernyataan kontroversial yang menyinggung martabat Bawaslu, seolah-olah lembaga pengawas pemilu itu belum menunjukkan sikap tegas.

Padahal, Bawaslu Bangka telah menegaskan laporan-laporan tersebut melewati tenggat tujuh hari sesuai UU No. 6 Tahun 2020. Lebih jauh, isu tanda tangan dan ijazah seharusnya sudah tuntas di tahap verifikasi pencalonan KPU, bukan dipersoalkan setelah hasil ditetapkan.

Partai Tidak Bisa Cuci Tangan

Dalam konteks politik, paslon adalah wajah partai. Partai pengusung tidak bisa berkilah bahwa laporan ke Bawaslu hanyalah inisiatif pribadi kandidat.

Paslon nomor 4 didukung PKB dan PSI, dua partai koalisi nasional bersama Gerindra. Paslon nomor 2 didukung Demokrat, yang juga bagian dari koalisi nasional. Langkah hukum yang ditempuh paslon ini secara tidak langsung menunjukkan partai koalisi melawan partai koalisi sendiri.

Konsekuensinya jelas: Gerindra di pusat bisa merasa diganggu oleh manuver partai koalisi, yang menjadi bumerang politik bagi hubungan koalisi nasional.

PDIP sebagai Mitra Kritis

Menariknya, PDIP justru menjadi penopang utama Gerindra di Bangka. Secara nasional, PDIP tidak bergabung dalam pemerintahan, tetapi menyatakan diri sebagai mitra kritis: mendukung kebijakan strategis pemerintah sambil tetap melakukan kontrol.

Dalam konteks Bangka, dukungan PDIP kepada Fery Insani – Syahbudin cukup untuk memenuhi syarat pencalonan tanpa harus berkoalisi dengan partai lain. Dengan demikian, laporan yang menyinggung dugaan pemalsuan tanda tangan Gerindra secara hukum tidak mengganggu pencalonan Paslon 1.

Situasi ini membuka potensi ketersinggungan Gerindra terhadap manuver partai koalisi di tingkat pusat, sekaligus menunjukkan dinamika politik yang tidak selalu linier dari pusat ke daerah.

Legowo dan Filosofi Warung Kopi

Pilkada bukan hanya kontestasi angka, tetapi ujian etika politik. Dalam tradisi lokal, masyarakat Bangka mengenal sikap legowo—lapang dada menerima hasil meski tidak sesuai harapan.

Budaya minum kopi di warung kopi menjadi cerminan nyata. Di sana, orang bisa berdebat sengit soal politik sambil menyeruput kopi pahit atau kopi susu khas Bangka. Setelah itu, semua kembali akrab. Keras dalam argumen, lunak dalam persaudaraan.

Politik Bangka seharusnya meniru filosofi warung kopi ini: jika bukti pelanggaran tidak cukup kuat, memperpanjang sengketa hanya akan merusak harmoni sosial dan pembangunan lokal.

Warning untuk Koalisi Nasional

Kasus Bangka memberi pelajaran penting: soliditas koalisi nasional bisa rapuh jika tarik-menarik lokal tidak dikendalikan.

PKB, PSI, dan Demokrat harus menyadari bahwa manuver paslonnya di daerah bisa berbalik menjadi bumerang di pusat. Gerindra sebagai partai utama koalisi tentu tidak bisa terus-menerus toleran terhadap manuver yang justru mengganggu pemenangnya sendiri.

Ironisnya, PDIP yang berada di luar pemerintahan malah tampil sebagai mitra kritis yang mendukung Gerindra. Fakta ini menunjukkan bahwa politik Indonesia pasca-2024 tidak sederhana: lawan bisa menjadi kawan, kawan bisa menjadi lawan. Dalam politik tidak ada perkawanan sejati yang ada kepentingan.

Demokrasi sebagai Amanah Rakyat

Kemenangan Fery Insani – Syahbudin adalah mandat rakyat yang sah. Selisih suara cukup jauh memperkuat legitimasi politik mereka. Maka, energi politik seharusnya diarahkan pada pelayanan publik, bukan sengketa yang kadaluarsa.

Partai pengusung paslon yang kalah tidak bisa cuci tangan; apa pun langkah kandidatnya, itu adalah wajah partai. Kedewasaan politik berarti menghormati keputusan rakyat, menjaga persatuan, dan menempatkan demokrasi sebagai amanah.

Kasus Bangka menjadi pengingat: demokrasi yang sehat lahir bukan hanya dari pemenang yang amanah, tetapi juga dari pihak yang kalah yang legowo. Tanpa itu, Pilkada hanya meninggalkan luka politik, bukan kemajuan bagi masyarakat. (*)

Posted in

BERITA LAINNYA

Pergesekan Geopolitik , Dekonstruksi Oligarki, Gejolak Sosial dan Peran AI dalam Fase Transisi

Oleh: Institut Kosmologi dan Eskatologi Profetik (IKEP) Berdasarkan artikel “Jalan…

Eks Pj Gubernur Babel Dihukum 3,6 Tahun, Denda 200 jt

GETARBABELCOM. JAKARTA– Mantan Penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Ridwan Djamaluddin…

Gustari Puji Pengalaman & Jiwa Sosial Tokoh Yang Satu Ini

GETARBABEL.COM, BANGKA– Sosok  kedermawanan figur seorang Mulkan SH.MH tidak diragukan…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI