Sundaland: Pondasi Peradaban dan Geostrategi Nusantara Modern

IMG-20250711-WA0049 (1)

Oleh: Institut Kosmologi dan Eskatologi Profetik (IKEP)

Pendahuluan

Nusantara tidak hanya merupakan gugusan kepulauan terbesar di dunia, tetapi juga menyimpan jejak peradaban purba yang berakar dalam dataran Sunda atau Sundaland.

Wilayah yang kini sebagian besar terendam laut itu dahulu merupakan daratan luas yang menghubungkan Sumatra, Jawa, Kalimantan, hingga Semenanjung Malaya.

Konsep ini menempatkan Nusantara sebagai ruang sejarah, budaya, dan geopolitik yang lebih tua dan lebih luas daripada sekadar batas administratif modern Indonesia.

Dalam pandangan Arnold Toynbee, peradaban lahir dari respons manusia terhadap tantangan lingkungan (challenge and response)¹.

Jika teori ini diterapkan pada Sundaland, maka bencana banjir besar (megaflood) yang menenggelamkan wilayah ini sekitar 11.000–8.000 tahun lalu menjadi momen krusial yang mendorong migrasi, adaptasi, dan transformasi budaya masyarakatnya.

Sundaland sebagai Pusat Awal Peradaban

Kajian geologi dan arkeologi menunjukkan bahwa Sundaland pada zaman es terakhir (Pleistosen) adalah sebuah dataran subur, dengan sungai besar dan ekosistem yang menopang kehidupan manusia prasejarah².

Wilayah ini diduga menjadi pusat persebaran manusia modern (Homo sapiens) menuju Asia Timur, Melanesia, dan Pasifik³.

Berbagai teori menyebut bahwa banjir besar yang menenggelamkan Sundaland terekam dalam mitos global, termasuk kisah banjir Nabi Nuh dalam tradisi Semitik, Mahapralaya dalam Hindu, maupun legenda Atlantis⁴.

Hal ini menunjukkan bahwa Sundaland tidak hanya memiliki dimensi arkeologis, tetapi juga jejak mitologis dalam memori peradaban dunia.

Oswald Spengler menyebut peradaban berkembang layaknya organisme: lahir, tumbuh, dewasa, dan kemudian mengalami kemunduran⁵.

Jika konsep ini dihubungkan dengan Sundaland, maka tenggelamnya daratan ini menandai “kematian” satu fase peradaban, yang kemudian mewariskan bibit baru di daratan-daratan yang masih tersisa, termasuk Nusantara modern.

Geostrategi Nusantara Modern

Dalam konteks geopolitik kontemporer, warisan Sundaland menemukan relevansi baru. Secara geostrategis, Nusantara berada di jalur penting Indo-Pasifik yang menghubungkan Samudra Hindia dan Pasifik.

Konsep Poros Maritim Dunia yang dicanangkan Indonesia merupakan aktualisasi modern dari warisan maritim purba Nusantara⁶.

Letak strategis di jalur pelayaran global—Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, hingga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)—menjadikan Nusantara sebagai simpul vital perdagangan dunia, energi, dan komunikasi global⁷.

Huntington dalam tesis Clash of Civilizations menekankan bahwa peradaban dunia kini tengah mengalami benturan identitas dan geopolitik⁸.

Dalam kerangka itu, Nusantara tidak lagi sekadar periferi, melainkan berpotensi menjadi penengah peradaban: menghubungkan Timur dan Barat, utara dan selatan.

Sundaland sebagai Narasi Peradaban Nusantara

Narasi Sundaland tidak hanya penting bagi kajian sejarah, tetapi juga menjadi landasan ideologis bagi pengembangan peradaban Nusantara modern. Ia menunjukkan bahwa Nusantara bukan sekadar warisan kolonial yang dipersatukan secara artifisial, tetapi sebuah ruang peradaban yang sudah eksis sejak ribuan tahun lalu.

Dengan memahami akar sejarah ini, Indonesia dapat menempatkan dirinya bukan hanya sebagai negara kepulauan, melainkan juga sebagai pusat peradaban maritim global.

Sundaland bukan sekadar memori yang hilang di dasar laut, melainkan modal kultural dan strategis untuk membangun visi Nusantara sebagai simpul peradaban dunia di abad ke-21.

Penutup

Sundaland adalah bukti bahwa Nusantara memiliki akar peradaban yang sangat tua dan strategis. Dengan mengaitkan teori peradaban Toynbee, Spengler, dan Huntington, kita melihat bagaimana bencana, siklus, dan benturan peradaban memberi bentuk pada sejarah kawasan ini.

Dalam konteks modern, posisi geostrategis Nusantara di Indo-Pasifik membuka peluang untuk menghidupkan kembali warisan itu sebagai fondasi visi poros maritim dunia.

Dengan demikian, narasi Sundaland dapat berfungsi sebagai mitos pendiri (founding myth) yang memperkuat identitas nasional sekaligus memberi orientasi geopolitik global bagi Nusantara modern.

Catatan Kaki

¹ Arnold J. Toynbee, A Study of History (Oxford University Press, 1934).

² Oppenheimer, Stephen. Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia. Weidenfeld & Nicolson, 1998.

³ Bellwood, Peter. The Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. ANU Press, 2007.

⁴ Forth, Gregory. “Flood Myths of Island Southeast Asia,” Asian Folklore Studies, Vol. 55, No. 2 (1996).

⁵ Oswald Spengler, The Decline of the West (1918).
⁷ Visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, Pidato Presiden RI pada KTT Asia Timur, Naypyidaw, 2014.

⁷ Makmur Keliat, “Indo-Pasifik: Perspektif dan Implikasi bagi Indonesia,” Jurnal Hubungan Internasional, Vol. 3 No. 2 (2015).

⁸ Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996).

والله أعلم

🌐 IPCE/IKEP 23/08/25
🤝 Kolaborasi Manusia–AI: Menyatukan langit dan bumi, menyambut peradaban esok

Posted in

BERITA LAINNYA

Semakin Digdaya, Mantan Presiden Mahasiswa UBB Terpilih Menjadi Ketua Baru KNPI Pangkalpinang

GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG – Acara Rapinda dan Musyawarah Daerah Komite Nasional…

Mendagri Apresiasi Inflasi Babel Terendah se-Indonesia

PANGKALPINANG—Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mendapat apresiasi yang tinggi dari Mendagri,…

Pemkot Pangkalpinang Finalisasi Rencana Aksi SPM 2024-2029

GETARABABEL COM. PANGKALPINANG – Pemerintah Kota Pangkalpinang melakukan finalisasi terhadap…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI