Fondasi Peradaban Baru (1): Jiwa Kolektif Di Ambang Fajar
By beritage |
Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI Setelah menapaki jejak-jejak spiritual…
Thursday, 21 August 2025
Oleh: Institut Kosmologi dan Eskatologi Profetik (IKEP)
Prolog
Artikel ini merupakan lanjutan dari Serial sebelumnya yang membahas narasi eskatologis Nusantara dalam kerangka profetik. Artikel ini mengarahkan perhatian pada posisi Nusantara dalam wacana sejarah dunia, baik dalam perspektif ilmiah Barat, mitos kosmologis Timur, maupun tradisi lokal.
Dengan mengacu pada gagasan Samuel Huntington, Arnold Toynbee, Benedict Anderson, Stephen Oppenheimer, dan Joseph Santos, tulisan ini menempatkan Nusantara bukan sekadar sebagai objek kolonial, tetapi sebagai simpul penting dalam dialektika peradaban global.
Pendekatan ini dimaksudkan untuk membuka ruang bagi reinterpretasi narasi Nusantara, sekaligus menyiapkan fondasi bagi integrasi tiga horizon pengetahuan: sains Barat, memori kosmologis Timur, dan tradisi Profetik Islam.
Seperti yang sudah dan akan selalu muncul, ketiga khorizon keilmuan ini mewarnai dan menjadi karakter utama serial ini, yang hanya mungkin melalui kolaborasi Manusia-AI.
Benturan Peradaban: Dari Huntington ke Gaza
Pada 1993, Samuel Huntington menulis tesis yang mengguncang dunia: “The great divisions among humankind and the dominating source of conflict will be cultural.”¹. Banyak yang menganggapnya sekadar provokasi akademik.
Namun tiga dekade kemudian, dunia benar-benar menyaksikan konflik global yang berakar pada identitas peradaban. Pertarungan di Palestina, misalnya, tidak hanya tentang tanah, tetapi juga benturan narasi dan benturan nilai.
Bagi Nusantara, ini adalah alarm sejarah: kita tidak bisa lagi hanya menjadi penonton.
Toynbee dan Kerentanan Internal
Arnold J. Toynbee dalam A Study of History (1934–1961) menulis: “Civilizations die from suicide, not by murder.”²
Menurutnya, peradaban runtuh bukan terutama karena serangan dari luar, melainkan karena kegagalan internal menjawab tantangan zaman.
Jika Huntington mengingatkan bahaya benturan eksternal, Toynbee menekankan bahaya kelalaian internal. Dua tesis ini berpadu dalam satu pesan: sebuah bangsa hanya akan bertahan jika mampu menjaga daya juangnya; melawan arus luar sekaligus kelumpuhan dari dalam.
Indonesia, dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan posisi strategis di poros maritim, sesungguhnya memegang kartu besar. Tetapi apakah kartu itu akan dimainkan dengan berani, atau dibiarkan layu dalam keraguan?
Nusantara: Panggung yang Terlupakan
Sejak masa kolonial, narasi sejarah global jarang menempatkan Nusantara sebagai pusat. Kita lebih sering muncul sebagai catatan kaki dalam kisah peradaban lain: India, Cina, Arab, atau Eropa.
Padahal, catatan pelayaran Tiongkok, Arab, dan Portugis menggambarkan Nusantara sebagai simpul perdagangan dunia; pusat rempah yang mengubah jalannya sejarah Eropa; dan ruang kosmopolitan di mana budaya-budaya besar bertemu.
Mengapa kita sering terlupakan? Karena narasi sejarah ditulis oleh pemenang. Dan pemenang global, selama ratusan tahun, bukanlah kita.
Ancaman kita hari ini bukan hanya penjajahan fisik, melainkan juga penjajahan narasi.
Kita harus merebut kembali ruang narasi. Seperti ditulis Benedict Anderson: “Nations are imagined communities.”³
Jika bangsa hanyalah imajinasi kolektif, maka kekuatan bangsa ditentukan oleh siapa yang menulis imajinasi itu.
Maka, Nusantara harus menulis dirinya kembali: bukan hanya sebagai objek kolonial, tetapi sebagai subjek peradaban.
Membuka Jalan ke Peradaban Purba
Pertanyaan penting muncul: apakah Nusantara hanya penonton dalam sejarah dunia, ataukah ia pernah, dan bisa kembali menjadi, pusat peradaban global?
Sains modern mulai memberi jawaban. Stephen Oppenheimer dalam Eden in the East (1998)⁴ menyodorkan bukti bahwa Asia Tenggara adalah pusat peradaban awal manusia setelah banjir besar.
Ignatius Donnelly (1882) dan Arysio Santos (2005)⁵ menempatkan Atlantis di kawasan ini, membuka kembali perdebatan tentang “negeri yang hilang.”
Tradisi lokal Nusantara pun menyimpan memori banjir besar, gunung runtuh, dan negeri tenggelam. Sementara Islam menghadirkan horizon wahyu tentang umat-umat yang bangkit, runtuh, lalu digantikan oleh generasi baru (QS. Yunus: 13–14).
Dengan demikian, membaca ulang Nusantara harus dilakukan melalui tiga simpul:
Sains Barat yang memberi data dan hipotesis;
Tradisi Timur yang menyimpan memori kosmologis;
Wahyu Islam yang menegaskan arah sejarah profetik.
🌌 Epilog: Manifesto Nusantara
Setiap ombak yang pecah di tepi pantai Nusantara menyimpan bisikan sejarah. Kita bukan bangsa yang lahir dari ruang kosong. Kita adalah pewaris samudra, pelaut peradaban, dan penulis bab yang belum selesai.
Al-Qur’an mengingatkan dalam Surat Yunus ayat 13–14: Allah menghancurkan umat-umat terdahulu karena kezalimannya dan karena para rasul-Nya didustakan. Kemudian generasi baru dihadirkan untuk “melihat bagaimana mereka berbuat.”
Inilah hukum sejarah profetik: kebangkitan dan kejatuhan peradaban selalu ditentukan oleh pilihan moral dan keberanian manusia menjawab tantangan zamannya.
Maka, jika dunia hari ini bertanya siapa kita, jawaban kita bukan sekadar “Indonesia di antara dua samudra.” Jawaban kita adalah:
Kami adalah Nusantara — peradaban yang pernah berjaya, dan kini ditantang untuk kembali menyalakan mercusuar dunia. Inilah esensi manifesto Nusantara: belajar dari sejarah umat-umat yang gugur, menegakkan risalah keadilan, dan menghadirkan peradaban yang memuliakan manusia sekaligus memulihkan keseimbangan jagat raya.
Catatan Kaki
¹ Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (New York: Simon & Schuster, 1996), hlm. 22.
² Arnold J. Toynbee, A Study of History, 12 jilid (London: Oxford University Press, 1934–1961).
³ Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 1983), hlm. 6.
⁴ Stephen Oppenheimer, Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia (London: Weidenfeld & Nicolson, 1998).
⁵ Arysio N. dos Santos, Atlantis: The Lost Continent Finally Found (Bloomington: AuthorHouse, 2005).
🌐 IPCE/IKEP 19/08/25
🤝 Kolaborasi Manusia–AI: Menyatukan langit dan bumi, menyambut peradaban esok
Posted in SOSBUD
Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI Setelah menapaki jejak-jejak spiritual…
PANGKALPINANG – Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI)…
GETARBABEL.COM, BANGKA– Calon Bupati Bangka H Mulkan SH MH menghadiri…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…