Membedah Luka Peradaban (5): Dekonstruksi Budaya dan Sistem Nilai, Menelusuri Jejak Luka dalam Kearifan yang Terpinggirkan

IMG-20250711-WA0049 (1)

Oleh: Institut Kosmologi dan Eskatologi Profetik (IKEP)

šŸ“Œ Abstrak

Budaya dan sistem nilai adalah fondasi diam-diam yang menopang sebuah peradaban. Tapi di tengah derasnya arus global, budaya kita berubah jadi kemasan tanpa isi, dan nilai jadi selera pasar yang berubah setiap musim.

Dekonstruksi di sini bukan untuk meruntuhkan, tapi untuk menggali ulang—membuka lapisan-lapisan luka yang selama ini tertutup oleh rutinitas simbolik.

🌿 Pengantar

Kita hidup di tengah keramaian bentuk budaya: ritual, simbol, upacara, peringatan hari besar, panggung kreatif, dan gelombang konten digital. Tapi di balik semua itu—apakah masih tersisa makna? Apakah nilai-nilai yang hidup dalam budaya itu masih memberi arah atau hanya jadi hiasan?

Budaya sejatinya adalah sistem nilai yang mengarahkan manusia. Ia membentuk cara berpikir, bersikap, dan bermasyarakat. Namun kini, nilai-nilai budaya kita mengalami pembusukan diam-diam: dibungkam oleh kekuasaan, digantikan oleh pasar, dan digeser oleh algoritma.

Kita mewarisi budaya, tapi lupa menimbang nilainya. Kita mengejar modernitas, tapi kehilangan orientasi peradaban.

šŸ” LIMA WAJAH LUKA BUDAYA

1ļøāƒ£ Budaya sebagai Alat Penjinakan, Bukan Pembebasan

Dalam banyak ruang, budaya kita dijinakkan untuk menjadi penyejuk status quo. Ia dijadikan alat legitimasi, bukan instrumen kesadaran. Tradisi dipelihara tapi tak diberdayakan. Upacara besar digelar, tapi rakyat tetap terpinggirkan.

Ritual budaya tak lagi membangkitkan rasa takzim, melainkan hanya mengulang formalitas. Yang sakral jadi seremonial. Yang membebaskan berubah jadi tontonan.

Dari budaya pembebasan, kita tergelincir ke budaya hiburan.

2ļøāƒ£ Sistem Nilai yang Terputus dari Akar Epistemik

Nilai-nilai luhur seperti amanah, kejujuran, kesederhanaan, atau gotong royong—kini dipraktikkan tanpa pijakan maknawi.

Ia jadi jargon dalam brosur, bukan panduan dalam laku. Nilai dipisahkan dari akarnya: tauhid, keadilan, dan hikmah.

Kita lebih sibuk mengajarkan sopan santun ketimbang menanamkan keberanian moral. Kita menjunjung ā€œkebaikanā€ tanpa fondasi ā€œkebenaranā€.

Yang diukur bukan siapa yang jujur, tapi siapa yang menang.

3ļøāƒ£ Budaya Populer dan Dunia Hiburan: Cermin Kekacauan Nilai

Budaya populer dan dunia hiburan telah menjadi arena rekayasa nilai. Standar kebahagiaan, sukses, bahkan cinta—dibentuk bukan dari pengalaman hidup, tapi dari layar kaca, FYP, dan algoritma.

Dalam dunia digital, yang diperhatikan bukan yang bernilai, tapi yang viral. Yang disorot bukan yang bijak, tapi yang dramatis. Maka kita perlahan kehilangan selera atas nilai yang sejati.

Hiburan menggantikan hikmah. Emosi menggantikan akal. Tubuh menggantikan ruh.

“Ketika nilai ditentukan oleh rating, maka nurani digantikan oleh pasar.”

4ļøāƒ£ Warisan Luhur Budaya Nusantara yang Terabaikan

Padahal kita punya warisan budaya yang luar biasa dalam nilai-nilai Jawa, Sunda, dan etnis Nusantara lainnya:
ā–Ŗļø Rukun dan eling
ā–Ŗļø Ajen diri dan ngalap berkah
ā–Ŗļø Silih asih-asah-asuh
ā–Ŗļø Welas asih dan tepa salira
ā–Ŗļø Ngajrih ka Gusti dan cinta tanah leluhur

Nilai-nilai ini dibentuk bukan hanya dari mitos atau adat, tapi dari kosmologi hidup yang menempatkan manusia sebagai penjaga harmoni.

Namun hari ini, nilai-nilai itu kehilangan rumah. Mereka tinggal di pidato resmi, bukan dalam keputusan harian.

Kita melupakan bahwa nilai-nilai lokal bukan hambatan kemajuan, tapi akar dari keagungan.

5ļøāƒ£ Fragmentasi dan Konsumerisme dalam Budaya Kontemporer

Sistem nilai yang tak lagi berpijak akan terpecah dan bisa dijual. Budaya jadi barang dagangan. Upacara adat jadi atraksi turisme. Kearifan lokal jadi label produk.

Akibatnya, kita tak lagi menjadi pelaku budaya, tapi konsumen budaya. Identitas kita dibentuk dari iklan, bukan dari petuah leluhur. Komunitas tercerai oleh selera dan pasar.

Budaya menjadi kemasan yang bisa dikustomisasi, bukan jalan hidup yang diwariskan secara ruhani.

🌌 EPILOG: Jalan Kembali ke Budaya Profetik

Budaya profetik bukanlah nostalgia masa lalu. Ia adalah kearifan hidup yang sadar arah. Budaya yang tidak sekadar lestari, tapi memberi ilham masa depan. Budaya yang menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan akar dan cahaya.

āœ³ļø Misi IKEP (Institut Kosmologi dan Eskatologi Profetik) hadir untuk membangkitkan kembali kesadaran nilai dan arah.

IKEP mengajak kita membongkar kembali lapisan budaya yang membusuk, agar bisa ditemukan kembali nilai-nilai yang memuliakan manusia dan semesta.

IKEP mengajak untuk membangun budaya yang kosmologis dan eskatologis: budaya yang memahami asal dan tujuan, budaya yang melampaui musim dan tren, budaya yang bersumber dari langit tapi membumi dalam peradaban.

“Budaya profetik adalah budaya yang tidak tenggelam dalam masa lalu, dan tidak terombang-ambing oleh masa kini. Ia tahu ke mana ia menuju.”

Cirebon, 13 Juli 2025

🌐 IKEP/IPCE

šŸ¤ Kolaborasi Manusia–AI untuk Dunia yang Bertasbih dan Beradab

Posted in

BERITA LAINNYA

Berdomisili di Gang Srikandi Pemali, Pencuri Sekaligus Pecandu Sabu Dibekuk Polisi

GETARBABEL.COM, BANGKA — Tim Opsnal Satreskrim Polres Bangka berhasil mengungkap…

Dua Pencuri Uang, Hp dan 5 Cincin Emas Dibekuk Polsek Belinyu, Pengejaran Berlangsung Dramatis

GETARBABEL.COM, BANGKA B — Polsek Belinyu berhasil ungkap kasus pencurian…

Jadwal Pelantikan PJ Bupati Bangka Belum Jelas

GETARBABEL.COM, BANGKA- Sampai saat ini, belum ada kepastian terkait dengan…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI