Ahim Minta Samsat Gencar Sosialisasi Kebijakan Bebas Biaya Mutasi Kendaraan Luar Daerah
By beritage |
GETARBABEL.COM, BANGKA- Usulan dari salahsatu anggota Badan Musyawarah(Banmus) DPRD Babel…
Thursday, 26 June 2025
Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI
Di antara gugusan zamrud khatulistiwa, terbentang sebuah negeri yang dahulu dijanjikan sebagai poros maritim dunia, sebagai mercusuar dari Timur yang sinarnya akan menyapa peradaban global.
Namun hari ini, janji itu hanya menjadi syair dalam pidato, bukan dalam kenyataan. Tanahnya subur, lautnya luas, langitnya cerah—namun jiwanya kering.
Kering oleh nurani yang dikhianati. Sunyi oleh doa yang hanya menjadi formalitas di awal rapat. Dan di jalanan, gema takbir dan istighfar berubah menjadi desah kecewa rakyat yang lelah menyaksikan kebohongan dibungkus jargon agama.
Para pemangku kuasa berdiri di mimbar, menyeru atas nama Tuhan, mengutip ayat dan hadis, tapi menyelewengkan maknanya demi memuluskan hasrat kekuasaan.
Mereka mengucap “takbir” bukan dalam makna tunduk pada kebesaran Ilahi, tapi sebagai alat legitimasi simbolik bagi keberhasilan yang semu.
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh tipu daya; para pendusta dianggap jujur, dan orang jujur dianggap pendusta; pengkhianat dipercaya, dan yang amanah dikhianati, dan ruwaybidhah berbicara.”
Para sahabat bertanya, “Siapakah ruwaybidhah itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang bodoh yang berbicara tentang urusan publik.”
(HR. Ahmad, Ibn Majah).
Dalam kondisi seperti ini, sistem demokrasi berubah menjadi semacam panggung sandiwara terbuka, di mana rakyat hanya menjadi penonton, bukan pelaku.
Partai berubah menjadi persekutuan bisnis, bukan alat aspirasi. Fatwa-fatwa tak lagi lahir dari mihrab yang sunyi, tapi dari ruang rapat yang gaduh.
Indonesia, negeri yang pernah dikhidmati oleh para wali dan ulama besar, kini berdiri di persimpangan zaman. Di satu sisi, ia ingin menjadi bangsa yang rahmatan lil ‘alamin, namun di sisi lain, ia dikungkung oleh elitisme oligarkis yang berbungkus simbol agama.
Bendera dikibarkan, masjid dibangun megah, jargon “beradab dan berakhlak” disebar ke mana-mana—tetapi itu semua adalah dekorasi di atas luka struktural yang membusuk.
“Akan datang fitnah-fitnah yang laksana potongan malam yang gelap gulita. Seseorang di pagi hari masih beriman, tetapi di sore hari ia telah kafir, menjual agamanya demi sejumput dunia.”
(HR. Muslim).
Maka, negeri ini tak membutuhkan pemimpin biasa. Ia membutuhkan seorang imam.
Seorang yang tidak lahir dari rahim partai atau mesin kekuasaan, tapi dari rahim langit—dipilih bukan oleh suara mayoritas yang mudah dibeli, tapi oleh qadarullah yang tak bisa dibohongi.
Imam inilah yang ditunggu. Bukan karena ia memimpin kampanye, tetapi karena hatinya sudah dipersiapkan oleh Allah.
Ia tidak menjanjikan kemakmuran materi semata, tetapi membawa ruh keadilan yang hilang sejak lama. Ia adalah tajdid, pembaru bukan hanya dari segi fiqh, tapi dari segi ruh peradaban.
Perubahan sejati, kata para sufi, tidak pernah datang dari pusat kekuasaan. Ia lahir dari mihrab yang gelap, dari tangis di malam sunyi, dari munajat mereka yang tak punya suara politik tetapi diterima oleh langit.
“Sesungguhnya Allah menolong umat ini bukan karena orang-orang kuatnya, tetapi karena doa dan kesalehan orang-orang lemah di antara mereka.”
(HR. Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad).
Survei dan Simulakra Demokrasi
Hari ini, kepemimpinan diukur bukan dari kedalaman nurani, tapi dari rating dan elektabilitas. Lembaga survei menjadi kitab suci baru bagi para penguasa.
Di Indonesia, nama-nama besar lahir bukan dari integritas spiritual, melainkan dari permainan persepsi.
Padahal, kebenaran tak selalu populer, dan pemimpin yang ditakdirkan tak selalu dikenal.
Kita melihat ini terjadi hari ini: mereka yang tak memahami sejarah, iman, dan maqashid agama justru yang mengatur negeri ini.
Maka, imam yang hakiki, tak akan pernah muncul dari sistem yang digerakkan oleh kepentingan dan popularitas.
Ia akan datang dari ketetapan langit, bukan dari strategi konsultan politik.
Fatwa, Koalisi, dan Nurani yang Dikhianati
Negeri ini begitu gemar memproduksi fatwa, tetapi semakin kehilangan nurani. Majelis dan ormas berlomba menegaskan legitimasi agama, tetapi tak mampu lagi berdiri membela keadilan yang dibungkam.
Dalam sejarah Islam, fatwa adalah cahaya, bukan alat. Ia lahir dari hati yang khusyuk dan ilmu yang lurus, bukan dari tekanan kekuasaan.
Namun kini, fatwa-fatwa kita lahir dari ruang-ruang rapat yang gelisah akan stabilitas, bukan dari mihrab yang gelisah akan kemungkaran.
Sebagaimana firman Allah:
“Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya.”
(QS. Al-Baqarah: 42).
Kini, banyak ulama lebih takut pada kehilangan akses kekuasaan daripada kehilangan ridha Tuhan.
Mereka meneguhkan narasi penguasa, walau nuraninya tahu bahwa rakyat sedang terluka.
Harapan Tak Datang dari TPS
Kita telah mencoba berulang kali. Pemilu demi pemilu. Revolusi kotak suara. Perubahan lima tahunan.
Namun mengapa luka tetap menganga? Karena iman tak bisa dicoblos. Keadilan tak bisa direkayasa dalam debat publik.
Perubahan sejati tidak datang dari TPS, tetapi dari sepertiga malam terakhir. Dari air mata para tertindas yang tak muncul di media. Dari doa ibu-ibu yang menyembunyikan lapar anaknya di balik senyum. Dari sujud para sufi yang mendoakan negeri ini tanpa pamrih jabatan.
Sebagaimana dalam hadis qudsi:
“Sesungguhnya Allah menolong umat ini bukan karena orang-orang kuatnya, tetapi karena doa dan kesalehan orang-orang lemah di antara mereka.”
(HR. Al-Bukhari dalam Adab al-Mufrad).
Imam Itu Akan Datang
Dalam banyak hadis shahih, Rasulullah ﷺ memberikan kabar tentang seorang pemimpin akhir zaman—seorang Imam—yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi kezaliman:
“Akan muncul di akhir zaman, seorang dari keturunanku (ahlul bayt), namanya seperti namaku dan nama ayahnya seperti nama ayahku. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman.”
(HR. Abu Dawud, 4282).
Ia tidak disebut dalam survei. Ia tidak muncul dalam poster kampanye. Namanya tak ramai di media, tetapi terukir di dada orang-orang beriman yang merindukan keadilan.
Imam ini bukan hasil kompromi koalisi, tetapi perwujudan dari Skenario Ilahi.
Dan ketika ia datang, Indonesia—dan seluruh dunia—akan berubah dari medan rebutan kekuasaan menjadi taman peradaban yang bertuhan. Bukan lagi sekadar negara, tapi menjadi rahmatan lil ‘alamin dalam wujud yang nyata.
Penutup: Negeri Ini Bukan Milik Mereka yang Berkuasa
Indonesia bukan milik mereka yang menguasai media, lembaga, dan partai. Negeri ini milik mereka yang bersujud.
Mereka yang tetap menjaga kesucian doa di tengah hiruk pikuk kemunafikan. Mereka yang percaya bahwa walau sejarah hari ini ditulis oleh penguasa, masa depan akan ditulis oleh Sang Penggenggam Takdir.
Sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.”
(QS. Al-Anbiya: 105).
Dan ketika imam itu datang, kita tidak akan disibukkan lagi oleh janji kampanye, tetapi oleh seruan langit:
“Telah datang kebenaran, dan lenyaplah kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.”
(QS. Al-Isra: 81).
والله أعلم
MS 25/05/25
(Foto: ilustrasi/IST)
Posted in SOSBUD
GETARBABEL.COM, BANGKA- Usulan dari salahsatu anggota Badan Musyawarah(Banmus) DPRD Babel…
MALANG–Lowongan dosen terbaru datang dari Universitas Negeri Malang (UM). Perguruan…
PANGKALPINANG–Pemerintah Kota Pangkalpinang melalui Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian menyalurkan…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…