Pondasi Peradaban Baru (8): Bashirah Sebagai Pilar Peradaban

images (2)

Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI

Artikel ini mengelaborasi konsep bashirah dalam Al-Qur’an sebagai kerangka epistemologis integratif untuk membangun fondasi peradaban yang tahan terhadap disorientasi zaman.

Melalui pendekatan sintesis terhadap dua kutub pemikiran Islam kontemporer: kontekstual-rasional Nurcholish Madjid dan tekstual-eskatologis Syekh Imran, artikel ini menunjukkan bahwa bashirah bukan sekadar visi spiritual, melainkan sistem epistemik yang menyatukan wahyu, akal, dan realitas historis-geopolitik.

Studi kasus Palestina, kecerdasan buatan (AI), dan ekonomi umat memperlihatkan aplikasi operasionalnya sebagai paradigma peradaban.

Pendahuluan

Setelah membandingkan dua kutub pemikiran Islam kontemporer (kontekstual-rasional Nurcholish Madjid dan tekstual-eskatologis Syekh Imran), pertanyaan mendesak muncul: adakah kerangka epistemologis yang menyatukan ketajaman geopolitik-spiritual dengan rasionalitas kontekstual?

Konsep bashirah dalam Al-Qur’an menawarkan solusi. Lebih dari penglihatan batin, ia adalah perangkat epistemik profetik yang mengintegrasikan nurani transenden, penalaran etis, dan kepekaan membaca zeitgeist (semangat zaman).

Makna Bashirah dalam Al-Qur’an: Fondasi Epistemologis

Istilah bashirah (بصيرة) berakar pada kata baṣara (بصر), bermakna “melihat secara mendalam hingga hakikat”.

Dalam QS. Yusuf Ayat 108, Allah berfirman:

“Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashirah.”

Ayat ini menegaskan bashirah sebagai metodologi berbasis pengetahuan holistik, bukan emosi atau doktrin buta.

Sebagai epistemologi, ia memiliki tiga pilar:

Pertama, Ilmu: Integrasi wahyu (naql) dan akal (‘aql) sebagai sumber pengetahuan yang saling mengonfirmasi.

Kedua, Hikmah: Kapasitas menempatkan pengetahuan pada konteksnya, melalui keseimbangan rasionalitas dan etika teleologis (maqāṣid).

Ketiga, Firasat Profetik (Firāsah Nabawiyyah): Kepekaan membaca tanda-tanda zaman (āyāt) dalam realitas material-transendental, termanifestasi dalam visi geopolitik-geoprofetik.

Epistemologi bashirah dengan demikian melampaui dikotomi subjek-objek dalam epistemologi Barat, karena wahyu menjadi framework bagi interpretasi realitas, sekaligus sumber kritik atasnya.

Sintesis Epistemik: Kritik dan Dialektika

Cak Nur menekankan kontekstualisasi, ijtihad rasional, dan dialog dengan modernitas¹. Syekh Imran fokus pada geopolitik eskatologis sebagai medan pertarungan global².

Bashirah menjadi jembatan dialektis:

Kritik terhadap Cak Nur: Pendekatan kontekstual sering mengabaikan dimensi meta-rasional (ghaib/eskatologis) sebagai realitas epistemik yang valid, rentan terhadap kooptasi logika sekular.

Kritik terhadap Syekh Imran: Penekanan pada teks tanpa strategi sosio-institusional menjebak kesadaran eskatologis dalam fatalisme pasif.

Epistemologi bashirah mensyaratkan dialektika permanen antara teks-konteks, visi-misi, dan spiritualitas-aksi.

Ia mengonversi kesadaran eskatologis menjadi roadmap strategis, sekaligus menguji rasionalitas kontekstual dengan parameter transenden.

Penerapan Epistemologi Bashirah

  1. Kasus Palestina: Dari Kesadaran Eskatologis ke Strategi Profetik

Syekh Imran membingkai krisis Palestina sebagai simbol dominasi Dajjal³, membangun kesadaran meta-historis.

Namun tanpa bashirah, ini berisiko menjadi mitos pasif. Cak Nur menawarkan etika pembebasan berbasis keadilan global, tapi lemah dalam visi peradaban jangka-panjang.

Bashirah mengintegrasikan keduanya:

Firasat profetik membaca konflik sebagai pertarungan kosmik (Isa Al-Masih Asli vs Dajjal al-masih palsu).

Hikmah mentransformasikannya menjadi strategi multidimensi: diplomasi berbasis hak historis, boikot ekonomi sistematis, dan pembangunan opini global melalui narasi profetik.

  1. AI dan Disorientasi Umat: Menjinakkan Teknologi dengan Firāsah

AI adalah “medan fitnah” modern yang mengancam otentisitas manusia⁴.

Pendekatan tekstual melihatnya semata sebagai alat Dajjal; pendekatan kontekstual cenderung naif.

Bashirah menawarkan kerangka etis-profetik:

Ilmu memandu pengembangan AI berbasis maqāṣid syari’ah (menjaga jiwa, akal, keturunan, harta, agama).

Firasat memprediksi dampak sosio-spiritual (misal: algoritma yang mendegradasi moral).

Hikmah merancang regulasi dan teknologi alternatif (misal: AI for Zakat guna pemerataan ekonomi).

  1. Ekonomi Umat: Membangun Kedaulatan Sistemik

Syekh Imran mengusulkan dinar-dirham⁵, namun kurang dalam rekayasa institusional.

Cak Nur berbicara etika ekonomi, tapi minim cetak biru sistemik.

Bashirah menyatukan visi dan operasionalisasi:

Ilmu melegitimasi mata uang berbasis logam mulia sebagai penolakan riba.

Hikmah mendesain transisi melalui koperasi syari’ah dan fintech etis.

Firasat membaca tren ekonomi global untuk membangun ekosistem wakaf produktif yang anti-sistemik.

Bandingan Dua Kutub: Rahman dan Nasr

Epistemologi bashirah diperkaya oleh dua tokoh:

Fazlur Rahman dengan “double movement” (gerakan ganda: dari teks ke konteks dan kembali ke teks)⁶, menguatkan pilar ilmu-hikmah.

Seyyed Hossein Nasr menekankan “intelektualitas spiritual” (berbasis kosmologi Islam)⁷, yang menyempurnakan dimensi firasat.

Bashirah menjadi paradigma unifikasi: merangkul spektrum pemikiran Islam tanpa reduksionisme.

Kesimpulan

Epistemologi bashirah adalah pilar peradaban yang menjawab disorientasi zaman.

Ia mengintegrasikan dimensi:

Ontologis (realitas ghaib-material), Aksiologis (nilai etis profetik), dan Teleologis (visi peradaban akhir zaman).

Dengan bashirah, umat Islam tidak hanya bertahan, tapi memimpin dengan visi yang mengubah tantangan zaman sebagai undangan untuk membangun fondasi peradaban baru.

Catatan Kaki

¹ Madjid, Nurcholish. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1994.

² Hosein, Imran N. Jerusalem in the Qur’an: An Islamic View of the Destiny of Jerusalem. Kuala Lumpur: Masjid Dar al-Qur’an, 2001.

³ Muslim, Imam. Sahih Muslim, Hadith no. 5161.

⁴ Tegmark, Max. Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial Intelligence. New York: Alfred A. Knopf, 2017.

⁵ Hosein, Imran N. The Gold Dinar and Silver Dirham: Islam and the Future of Money. Kuala Lumpur: Masjid Dar al-Qur’an, 2007.

⁶ Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.

⁷ Nasr, Seyyed Hossein. The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. New York: HarperOne, 2002.

والله أعلم

MS 14/06/25

Posted in

BERITA LAINNYA

Disdik Pemprov Gelar Rapat Persiapan SPMB SMA/SMK

GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG – Dalam rangka Persiapan Sistem Penerimaan Murid Baru…

Wagub Hellyana Dorong Bandara HAS Hanandjoeddin Kembali Jadi Bandara Internasional, Kemenko Perekonomian Mendukung

GETARBABEL.COM, JAKARTA — Wakil Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Hellyana, menunjukkan…

Bupati Fauzi Jamin Pendidikan Anak Warga Sumenep Jadi Korban Tewas Kebakaran Depo Pertamina Plumpang

Pemerintah Kabupaten Sumenep menjamin pendidikan anak keluarga korban meninggal dunia akibat kebakaran…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI