Fondasi Peradaban Baru (7): Epistemologi Dua Mata di Zaman Satu Mata

images (15)

Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI

Di ujung zaman yang dilanda buta hati, Al-Qur’an menggedor kesadaran kita:

“Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.”
(QS. Al-Hajj: 46).

Ayat ini adalah pisau analisis yang membedah inti tragedi peradaban modern: kebutaan basirah.

Di tengah gemerlap teknologi, manusia terjebak dalam “epistemologi satu mata”; pandangan yang menyembah yang kasat mata, menafikan yang tersirat.

Inilah hakikat fitnah Dajjal: sistem pengetahuan yang memotong akar transendensi, menjadikan realitas sekadar benda mati yang bisa dihitung, dikontrol, dan dieksploitasi.

Pertemuan Dua Samudera: Di Mana Musa dan Khidr Berpelukan

Al-Ghazali membedah ilmu menjadi hudhuri (pengetahuan hadir dari Sang Sumber) dan hushuli (pengetahuan yang diraih usaha).

Konferensi Pendidikan Islam Pertama di Mekkah tahun 1977 menyebutnya ilmu perenial (abadi) dan instrumental (alat).

Tapi Al-Qur’an lebih dahsyat: ia menggambarkannya sebagai majma’ al-bahrain, tempat bertemunya dua samudera.

Di sinilah Musa, ahli syariat yang melihat dunia dengan mata lahir, berjumpa Khidr, penyelam hakikat yang membaca takdir dengan mata batin.
(QS. Al-Kahfi: 60-82; Hosein, 2001: 89)

Epistemologi “satu mata” Dajjal adalah samudera pertama: dangkal, linear, dan penuh kepastian palsu.

Samudera kedua adalah lautan bashirah: dalam, gelap bagi yang tak berhati suci, tapi memancarkan mutiara hikmah.

Peradaban yang hanya menyelami satu samudera adalah peradaban pincang, seperti Fir’aun membangun piramida megah di atas penderitaan budak.

Sintesis Cak Nur dan Syekh Imran: Menjahit Dua Sayap Burung

Nurcholish Madjid dalam Islam, Doktrin, dan Peradaban (1992) menegaskan:

“Rasionalitas tanpa spiritualitas adalah robot. Spiritualitas tanpa rasionalitas adalah khayal.”

Sementara Syekh Imran dalam Jerusalem in the Qur’an (2001) memperingatkan:

“Dajjal tidak akan dikalahkan oleh teknologi, tapi oleh mata ketiga yang melihat di balik ilusi.”

Basirah adalah sintesis keduanya: Ia adalah sayap kiri yang mengepak dalam realitas sejarah (seperti Cak Nur membaca demokrasi), dan sayap kanan yang menyelam ke gaib eskatologis (seperti Syekh Imran membongkar skenario Dajjal).

Dua sayap ini bukan bertentangan, melainkan satu gerak menembus langit peradaban.

Kematian Epistemologi Satu Mata

Di era algoritma dan deepfake, ketika kebenaran direkayasa menjadi komoditas, basirah adalah pemberontakan terakhir.

Ia bukan sekadar “mata batin” dalam retret sufi, tapi senjata hidup:

Di Palestina: Ia membaca penjajahan bukan hanya sebagai konflik politik, tapi pertarungan kosmik antara Haq dan Batil.

Di Lab AI: Ia menolak mesin yang mendikte moral, lalu merancang algoritma yang menghamba pada maqāṣid syariah.

Di Pasar Umat: Ia mengubah dinar dari wacana eskatologis menjadi koin yang mengguncang sistem riba.

Epilog: Fatihatul Bashirah

Maka jika kau bertanya:
Di manakah peradaban baru akan lahir?

Jawabnya: Di ruang sunyi antara dua hentakan nafas.
Saat mata lahir memandang fakta,
Dan mata batin menyelam ke hakikat.

Di sanalah basirah bekerja:
Menenun benang wahyu dengan benang akal,
Menyulam kanvas sejarah dengan benang emas gaib.

Hingga tercipta karpet peradaban:
Kukuh di bumi,
menjulang ke langit.

Basirah adalah fātiḥah,
pembuka gerbang peradaban
yang tidak bisa dibajak algoritma,
tidak bisa dibeli pasar,
dan tidak bisa dijebak zaman.

Maka bukalah matamu,
yang dua.

والله أعلم

MS 13/06/25

(Foto: ilustrasi/IST)

Posted in

BERITA LAINNYA

BKPRMI Gelar Ujian Serentak di 8 Kecamatan

GETARBABEL.COM, BANGKA — Lembaga Pembinaan dan Pengembangan TK Al-Qur’an Badan…

Polres Bangka Atur dan Amankan Pasar Ramadhan

GETARBABEL.COM, BANGKA – Polres Bangka menurunkan 15 personel gabungan untuk…

Bupati Beltim Sorot Kecanduan Gawai, Harap Orang Tua Lindungi Anak-anak

GETARBABEL.COM, BELTIM– Salah satu pemicu sejumlah permasalahan mulai dari fisik…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI