Pj Walikota Pimpin Rakor, Pastikan Kesiapan Pilkada 2024
By beritage |
GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG, – Pj Wali Kota Pangkalpinang, Budi Utama memaparkan…
Sunday, 8 June 2025
“Bukan kurangnya pengetahuan yang menghancurkan suatu bangsa, tetapi kegagalan orang-orang berpengetahuan untuk hidup sesuai nuraninya.”
(Ali Shariati).
Jika dalam esai sebelumnya kita berbicara tentang kebangkitan jiwa kolektif sebagai bibit komunitas peradaban baru, maka kali ini kita akan menengok sisi gelap dari lanskap keilmuan modern: kelelahan, keheningan, dan kematian simbolik dari banyak intelektual yang dahulu berdiri di garis depan perubahan.
Mereka tidak mati secara fisik, tetapi dimatikan secara simbolik: kehilangan daya kritis, keberanian moral, dan kejernihan batin.
Fenomena ini bukan sekadar pergeseran minat atau momentum, tetapi menyimpan krisis struktural dan spiritual yang mendalam.
Kelelahan Epistemik dan Erosinya Nurani
Kita hidup di zaman ketika informasi melimpah, tapi kebijaksanaan menjadi barang langka.
Di banyak ruang publik dan diskusi akademik, semakin sedikit suara yang benar-benar jernih dan berani.
Intelektual kritis yang dahulu menjadi penanda zaman kini terduduk letih: terjebak dalam repetisi, kompromi, atau bahkan ikut merayakan sistem yang dulu mereka kritik.
Kekuasaan tak perlu menembak pemikir kritis. Undang mereka ke istana, beri jabatan, dan kooptasi selesai. Mantan demonstran jadi birokrat, mengemas kebijakan represif sebagai “reformasi struktural”.
Fenomena ini dapat kita sebut sebagai epistemic fatigue, kelelahan epistemik yang lahir dari setidaknya tiga akar krisis:
Pertama, repetisi wacana tanpa pengaruh nyata: Gagasan menjadi sekadar retorika yang tidak menjelma aksi.
Kedua, kegagalan membentuk komunitas aksi: Intelektual berbicara, tapi tidak membangun simpul perubahan yang hidup.
Ketiga, tuntutan sistemik untuk terus relevan secara institusional dan algoritmik: Keberanian dikorbankan demi akomodasi dalam pasar ide dan industri pengakuan.
Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai habitus akademik; sebuah penjara tak kasatmata yang membuat para intelektual lebih sibuk mempertahankan posisi dalam institusi alih-alih menumbuhkan integritas pemikiran.
Normalisasi Kompromi dan Kapitalisme Wacana
Kapitalisme tidak hanya menguasai ekonomi; ia juga telah menjajah wacana. Gagasan dijadikan branding, dan intelektual dijadikan influencer.
Di tengah algoritma yang mengatur perhatian publik, banyak intelektual memilih menjadi “selebritas pikiran”: tampil, berbicara, berteori, namun tak lagi menantang sistem.
Lahirlah intelektualisme performatif: Banyak bicara tapi minim risiko, banyak menulis tapi tak mengubah, banyak tampil tapi kehilangan substansi batin.
Antonio Gramsci pernah memperingatkan pentingnya intelektual organik; mereka yang hidup dalam realitas rakyat dan menyuarakan jerit nurani yang tak terwakili.
Tapi hari ini, ruang produksi pengetahuan telah dibajak oleh sponsor, birokrasi, dan industri opini. Scopus dan SINTA menjadikan ilmu sebagai komoditas.
Dosen dipaksa mengejar H-Index, bukan keadilan.
LSM progresif? Bergantung pada donor asing yang mematok agenda.
UNESCO (dalam laporan World Social Science Report 2016) menyebutkan kekhawatiran atas “homogenisasi pengetahuan” dan komersialisasi ilmu di negara-negara berkembang.
Narasi radikal memang nyaris menghilang dari kurikulum, kecuali sebagai bahan nostalgia atau etalase.
Krisis Regenerasi dan Kosongnya Panggung Radikal
Kematian simbolik bukan hanya menyapu generasi tua. Ia juga mencegah regenerasi.
Banyak pemikir muda tumbuh dalam sistem yang tidak memberi ruang bagi otentisitas.
Mereka terjebak antara menjadi penggembira sistem atau replika dari narasi lama.
Kampus-kampus tidak lagi mencetak pejuang hikmah, tapi teknokrat budaya; mereka yang cakap bicara, tapi miskin pengalaman eksistensial dan spiritual.
Mereka pandai menulis proposal hibah, tapi tak mampu menulis sejarah. Ruang radikal, tempat gagasan mengalir dari laku hidup yang sunyi dan jujur, kini kosong.
Hasilnya? Lahirlah sarjana yang mahir analisis data, tapi buta sejarah perlawanan.
Ali Shariati menyebutnya sebagai mullahisme baru: intelektual yang berubah menjadi pendeta ideologis; mengurbankan kebenaran demi kekuasaan.
Kemunduran Batiniah dan Pengkhianatan atas Jiwa
Syekh Imran Hosein pernah menyatakan dengan lantang:
“No knowledge can transform the world if the soul is dead.”
Kematian simbolik intelektual pada akhirnya adalah kematian ruhiah. Bukan akal yang padam, tapi jiwa yang mengering.
Mereka menjadi letih bukan karena kehabisan gagasan, tapi karena nuraninya terkikis oleh sistem yang membunuh keberanian.
Pierre Bourdieu membongkar mekanismenya: habitus akademik mengajari kita bahwa keberhasilan diukur dari seberapa baik kita memainkan aturan permainan, bukan melawannya.
Jika dalam wacana Qur’ani komunitas peradaban baru dibangun oleh jiwa-jiwa muthmainnah, maka kebangkitan tidak mungkin terjadi di tangan para intelektual yang telah menyerahkan jiwanya kepada sistem yang rusak.
Fir’aunisme intelektual (QS. Al-Qashash: 4) menjelma: mempertahankan menara gading akademik meski tahu sistemnya menindas.
“Sesungguhnya Fir‘aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dia menindas segolongan dari mereka.” (QS. Al-Qashash: 4).
Syekh Imran juga mengingatkan:
“Without basirah, an intellectual is just a parrot of dead theories.”
Ketika spiritualitas mati, yang tersisa hanyalah nafsu.
Godaan proyek miliaran, villa, dan ketenaran mengalahkan kompas moral.
Intelektual sebagai Mujahid Spiritual
Kita memerlukan redefinisi tentang apa artinya menjadi intelektual hari ini. Bukan sekadar akademisi, bukan pula pembicara di seminar, tetapi mujahid spiritual—mereka yang menjadikan kebenaran sebagai jalan hidup, bukan sekadar tema diskusi.
Intelektual seperti ini tidak mencari panggung, tidak tunduk pada institusi, dan tidak menjual dirinya kepada pasar ide.
Mereka memilih jalan sunyi, sebagaimana Ashabul Kahfi memilih gua daripada istana yang menindas.
Mereka adalah pemelihara api kecil di tengah kegelapan. Menjaga nurani, meski sendirian.
Membaca realitas, bukan sekadar teori. Dan yang paling penting: hidup dari apa yang mereka yakini.
Epilog: Menghidupkan Kembali Jiwa Intelektual
Kematian simbolik bukanlah takdir. Ia adalah alarm sejarah yang menuntut keberanian untuk kembali pada asal: kepada jiwa yang jujur, hati yang bersih, dan pikiran yang bebas.
Karena peradaban tidak dibangun oleh konsep, tetapi oleh jiwa-jiwa yang menolak mati secara simbolik.
Seperti pernah dikatakan Nurcholish Madjid:
“Iman yang hidup adalah iman yang bergerak. Ia tidak membeku dalam doktrin, tapi mengalir dalam sejarah manusia.”
Dan sejarah tidak berubah oleh mereka yang pandai menulis, tetapi oleh mereka yang berani hidup dari apa yang mereka tulis.
Sebagaimana firman Allah dalam menggambarkan ulul albab, jiwa-jiwa yang sadar dan hidup:
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal (ulul albab).”
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata, ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia…'”
(QS. Ali Imran: 190–191).
والله أعلم
MS 08/06/25
(Foto: ilustrasi/IST)
Posted in SOSBUD
GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG, – Pj Wali Kota Pangkalpinang, Budi Utama memaparkan…
JAKARTA–Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung bergerak cepat untuk melobi PT…
GETARBABEL.COM, JAKARTA– Ada beberapa kolaborasi yang dijalin oleh Kementerian Transmigrasi…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…