Review Dan Resensi AI Atas Esai 39b
By beritage |
Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI Tolong review dan resensi…
Saturday, 7 June 2025
Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI
Setelah menapaki jejak-jejak spiritual dalam serial “Jiwa yang Tenang di Bumi yang Retak”, kita telah menyaksikan bagaimana Islam menawarkan ketenangan batin sebagai respons atas keretakan dunia modern.
Namun, jiwa muthmainnah bukanlah tujuan akhir; ia adalah fondasi awal untuk membangun tatanan peradaban baru yang kokoh—yang lahir dari kesadaran batin, tetapi bergerak aktif dalam ranah sejarah.
Maka, serial ini berlanjut dalam babak baru: “Fondasi Peradaban Baru”. Di sini, kita akan menelusuri bagaimana ketenangan jiwa, jika terhubung dengan visi profetik dan kepekaan zaman, dapat menjadi batu pijakan untuk membentuk masyarakat yang adil, tercerahkan, dan visioner.
Perjalanan spiritual kini bertransformasi menjadi proyek historis. Seperti dikatakan oleh Syekh Imran Hosein dalam “Jerusalem in the Qur’an”, “a true Islamic civilization will not emerge without the awakening of the spiritual heart in a world overcome by the false glitter of Dajjal’s deception.”
“Peradaban Islam yang sejati tidak akan muncul tanpa kebangkitan hati spiritual di dunia yang telah dikuasai oleh gemerlap palsu dari tipuan Dajjal.”
Maka, serial ini akan mengkaji akar peradaban sejati dari sudut eskatologi, geopolitik, dan spiritualitas Qur’ani—untuk merintis jalan menuju dunia yang lebih adil dan tercerahkan.”
Prolog: Di Antara Distopia dan Utopia
Peradaban kita berdiri di titik kritis: apakah akan berlari menuju masa depan yang semakin terasing dari makna dan spiritualitas, atau justru kembali menapaki jalan para penjaga jiwa?
Hari ini, di bawah langit yang sarat krisis dan kebisingan digital, dunia makin dipenuhi oleh algoritma tanpa nurani, sistem ekonomi tanpa keadilan, dan teknologi yang memisahkan manusia dari dirinya sendiri.
Kita menyaksikan distopia yang dulu hanya hidup dalam fiksi kini menjelma jadi kenyataan: manusia yang kehilangan pusat jiwanya, komunitas yang tercerai-berai, dan peradaban yang kehilangan arah.
Namun di sisi lain, muncul pula tanda-tanda fajar yang pelan namun pasti menyingsing: gerakan kecil, komunitas sunyi, dan jiwa-jiwa muthmainnah yang memilih jalan berbeda: jalan kebermaknaan, kesederhanaan, dan kebijaksanaan spiritual.
Kita sedang menyaksikan pertarungan besar dalam sejarah umat manusia: antara distopia modern yang terfragmentasi dan utopia spiritual yang bertumpu pada kebangkitan komunitas hikmah.
Transformasi Jiwa Kolektif
Di tengah porak-poranda tatanan sosial, moral, dan lingkungan yang semakin terasa seperti zaman kehancuran, muncul satu pertanyaan yang lebih mendesak daripada sekadar retorika perubahan: bukan hanya siapa yang akan menyelamatkan peradaban, tapi seperti apa komunitas yang mampu mengandung jiwa-jiwa penyelamat itu?
Kita hidup di era ketika sistem pendidikan lebih mementingkan indeks kutipan ketimbang kedalaman hikmah, ketika ruang-ruang diskusi dikunci oleh kepentingan sponsor dan algoritma, dan ketika banyak intelektual, yang dulu bersinar sebagai pembawa obor nurani, perlahan tenggelam dalam kompromi dan kelelahan epistemik.
Di tengah semua ini, lahirlah kebutuhan akan transformasi jiwa kolektif: dari individu muthmainnah menuju komunitas hikmah.
Dari Jiwa Individual ke Jiwa Kolektif
Dalam Al-Qur’an, kisah Ashabul Kahfi adalah gambaran simbolik tentang sekelompok muda yang membangun solidaritas iman, lari dari sistem yang menindas, dan justru menemukan kedalaman spiritual di dalam kesunyian gua.
Mereka bukan tokoh besar, bukan pemilik lembaga, bukan profesor, tetapi jiwa-jiwa yang jujur pada kebenaran.
Inilah model komunitas hikmah awal—komunitas kecil, tapi jernih dan kuat dalam kesadaran spiritualnya.
Transformasi dari individu ke komunitas seperti ini tidak terjadi secara mekanis, apalagi melalui struktur formal. Ia tumbuh dari pengalaman bersama dalam luka sosial, pencarian makna, dan keberanian untuk hidup berbeda.
Komunitas seperti ini lahir dari ruang-ruang alternatif: jejaring pesantren progresif, komunitas literasi di wilayah marjinal, perpustakaan jalanan di media sosial, atau majelis sunyi yang menolak komersialisasi agama.
Fondasi Peradaban Baru: Mewarisi Keberanian Intelektual
Kita telah menyaksikan dua figur penting yang meletakkan fondasi pemikiran baru di masa mereka: Nurcholish Madjid dan Syekh Imran Hosein.
Cak Nur membangkitkan kembali dinamika pemikiran Islam dari kubangan stagnasi dogmatisme, dengan menyandingkan tradisi dan modernitas secara kreatif.
Ia tidak takut mengkritik kemapanan institusi keagamaan, sembari tetap memuliakan spiritualitas Islam sebagai jalan pembebasan dan pencerahan.
Cak Nur menulis paragraf refleksinya dalam “Khazanah Intelektual Islam”:
“Para pemikir Muslim terdahulu mendedikasikan hati dan jiwanya untuk menjaga dan mempertahankan iman dan martabat keislaman umat—meski tidak kurang gara-gara hal tersebut mereka dituduh sebagai pemikir yang telah menyimpang dari pakem sah keislaman…”
Kutipan ini mencerminkan keberanian intelektual untuk tidak sekadar mengulang wacana lama, tetapi menggali ulang makna iman demi menjawab tantangan zaman. Cak Nur adalah arsitek epistemologis dari “iman yang terbuka”, yang membuka ruang intelektualisme Islam sebagai sarana pembebasan dan kemanusiaan.
Sementara itu, Syekh Imran Hosein berbicara dari kedalaman eskatologi. Ia memetakan arus zaman sebagai bagian dari skenario akhir, menyandingkan geopolitik global dengan tanda-tanda nubuwah.
Dalam salah satu ceramahnya ia mengatakan:
“In akhir al-zaman, the political, economic and military oppression of the world will be globalized through a one-world system. Only those who can preserve spiritual insight (basirah) will survive its trials.”
“Di akhir zaman, penindasan politik, ekonomi, dan militer dunia akan diglobalisasi melalui satu sistem dunia. Hanya mereka yang mampu menjaga kejernihan pandangan spiritual (basirah) yang akan mampu bertahan dari ujiannya.”
Ia menunjukkan bahwa krisis modern bukan hanya soal ketimpangan ekonomi atau kekacauan politik, tetapi keretakan spiritual yang sistemik.
Maka, komunitas yang dibutuhkan bukan sekadar aktivis politik atau pakar ekonomi, tapi komunitas yang memiliki jiwa basirah—pandangan batin yang mampu melihat kebenaran di balik ilusi dunia.
Dalam konteks ini, Syekh Imran menjadi suara langka: seorang muhaqqiq akhir zaman, penjaga hikmah di tengah kekacauan narasi.
Ia mengajak umat Islam untuk tidak terjebak dalam jargon, melainkan kembali membangun spiritual resistance terhadap sistem global yang beroperasi dalam logika Dajjalic.
Sebagaimana ia tegaskan:
“Do not build a future in cities that are destined to collapse. Build your future in small communities, bound by faith, where food is grown, truth is spoken, and time is lived in harmony with the divine.”
“Jangan bangun masa depan di kota-kota yang ditakdirkan akan runtuh. Bangunlah masa depanmu dalam komunitas kecil yang diikat oleh iman, tempat makanan ditanam, kebenaran diucapkan, dan waktu dijalani selaras dengan kehendak Ilahi.”
Dari dua tokoh ini, kita belajar bahwa peradaban baru tidak bisa dibangun tanpa keberanian menafsirkan ulang realitas, tanpa keberanian spiritual yang melampaui formalisme, dan tanpa jiwa yang muthmainnah: tenang, tetapi juga tak tunduk pada kebatilan.
Komunitas Hikmah sebagai Fondasi Peradaban Baru
Kita tidak hanya membutuhkan pemikir baru, tetapi juga ruang-ruang baru: ruang yang tidak dibangun di atas logika pasar atau kekuasaan, tetapi dibangun atas dasar kejujuran eksistensial dan solidaritas spiritual.
Komunitas hikmah adalah tempat di mana: pemikiran bukan sekadar prestise, tapi tanggung jawab; spiritualitas tidak dipertontonkan, tapi dihayati dalam laku hidup; kebenaran tidak dijaga oleh lembaga, tetapi dijaga oleh keikhlasan kolektif.
Ini adalah praxis transformatif, di mana teori, laku, dan kesadaran menyatu. Dalam komunitas ini, pengetahuan tidak terjebak di ruang kuliah atau jurnal akademik, tapi hadir di sawah, di perpustakaan jalanan seperti media sosial, di kampung, di majelis sunyi, di lorong-lorong sunyi, bersama mereka yang terpinggirkan.
Epilog: Komunitas Sunyi sebagai Jalan Peradaban
Membangun komunitas hikmah bukanlah proyek besar yang gegap gempita. Ia sunyi. Tapi justru karena itu ia mengakar.
Sebab yang kita butuhkan bukanlah ledakan wacana, melainkan akumulasi hikmah, yang terus menjalar dari hati ke hati, dari ruang ke ruang, dari satu jiwa muthmainnah ke jiwa lainnya.
Syekh Imran menulis dalam Jerusalem in the Qur’an:
“The most dangerous illusion of the modern age is progress without God. And the greatest resistance to that illusion is a community that lives by Divine Light.”
“Ilusi paling berbahaya dari zaman modern adalah kemajuan tanpa Tuhan. Dan perlawanan terbesar terhadap ilusi itu adalah komunitas yang hidup dengan cahaya Ilahi.”
Di tengah bumi yang semakin retak ini, komunitas seperti itulah yang bisa menjadi benih peradaban baru.
والله أعلم
MS 07/06/25
(foto: ilustrasi/IST)
Posted in SOSBUD
Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI Tolong review dan resensi…
JAKARTA–Kejaksaan Agung kembali melakukan pemeriksaan terkait dengan perkara dugaan tindak pidana…
GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG – Tindaklanjut dari laporan warga terkait dugaan maladministrasi…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…