Jiwa Yang Tenang Di Tengah Bumi Yang Retak (37b):  Mengapa Dajjal Perlu 40 Hari? (Memahami Strategi Waktu Dajjal dan Bahaya Eskatologi yang Tertukar)

IMG_20250526_102148 (1)

Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI

Konsep akhir zaman sering dipahami dengan kacamata Barat, seolah janji kemenangan hanya berlaku untuk entitas politik tertentu di Timur Tengah, atau sebatas isu konflik geopolitik regional tanpa dimensi spiritual-transenden yang utuh.

Blueprint 40 Hari Dajjal

Empat puluh hari Dajjal bukan sekadar hitungan mundur, melainkan cetak biru penaklukan akhir zaman.

Di tengah dunia yang terlena oleh kecepatan one-click civilization, Dajjal menyusup dengan algoritma waktu sebagai senjata:

Hari pertama (setahun): Imperialisme epistemik, penjajahan cara berpikir umat.

Hari kedua (sebulan): Teknokrasi digital, penyembahan data menggantikan tauhid.

Hari ketiga (seminggu): Transhumanisme, manusia rela menjual ruh demi upgrade tubuh.

Namun ancaman terbesar adalah upaya mengganti eskatologi Islam menjadi dongeng simbolik. Mereka yang berkata “Dajjal hanyalah alegori korupsi” telah terperangkap dalam hipnosis tahap awal Dajjal.

Jika Dajjal dianggap simbol, Mahdi akan dianggap mitos, Isa AS hanya kiasan nilai, maka fondasi ghaibiyyat runtuh.

Islam datang dengan peringatan nyata: Dajjal itu fisik: buta mata kanan, punya keledai putih, bertuliskan “KAFIR” di dahinya, sungai dan api sebagai senjata.

Rasulullah SAW tidak sekadar bercerita simbolik, tetapi memberikan manual detil pertahanan.

Sebaliknya, intelektual modern berkata, “Dajjal hanyalah representasi kejahatan sistemik.” Mereka lupa: Fir’aun bukan hanya simbol tirani, dia punya nama dan jasad; Qarun bukan hanya alegori keserakahan, dia ditelan bumi.

Jika semua dipersempit menjadi simbol, maka tanda-tanda kiamat (zina merajalela, pasar berdekatan) pun akan dianggap ilusi.

Generasi yang diajari bahwa Dajjal hanyalah kapitalisme, akan terkejut ketika seorang manusia nyata mengklaim dirinya sebagai tuhan.

Antara Sunnah dan Narasi Asing

Paradoks peradaban umat Islam saat ini:

Peradaban Islam tanpa eskatologi: Ibadah menjadi rutinitas tanpa visi, bukan bagian dari strategi menghadapi fitnah besar Dajjal, Zionisme, dan sistem riba global.

Berfilsafat tanpa akhir: Diskusi intelektual terjebak pada masalah lokal, tanpa peta pertarungan global Haq vs. Batil menjelang kiamat.

Berjihad tanpa musuh: Tidak mengenal musuh sebenarnya (Dajjal dan pengikutnya), hingga perjuangan umat terfragmentasi dalam isu-isu kecil tanpa arah.

Sementara peradaban lain justru memelihara eskatologi mereka:

Yahudi-Zionis menantikan Messiah sebagai raja dunia yang akan mendirikan tatanan global dari Yerusalem, terhubung dengan proyek geopolitik, teknologi, dan penguasaan ekonomi dunia.

Kristen fundamentalis meyakini Armageddon sebagai perang akhir zaman yang akan dimenangkan Israel, mendukung penuh kebijakan politik luar negeri mereka.

Sekularisme-Transhumanisme menciptakan “eskatologi baru”: utopia teknologi, keabadian digital, singularitas AI, kolonisasi luar angkasa, dan kontrol umat manusia melalui algoritma.

Sementara umat Islam? Saat meninggalkan nubuwat eskatologisnya sendiri, mereka kehilangan narasi besar tentang masa depan, lalu menjadi objek, bukan subjek, dalam pertarungan global menuju akhir zaman.

Tanpa eskatologi, Sunnah menjadi sekadar kerangka ketaatan individual, terputus dari sejarah dan visi masa depan. Ritual menjadi statis, akhlak menjadi sekadar moralitas pribadi, dan jihad kehilangan musuh nyata.

Sebaliknya, dengan menjaga eskatologi, umat Islam memelihara Sunnah sebagai warisan hidup:

Ibadah menjadi latihan mental-spiritual menghadapi fitnah akhir zaman.

Akhlak menjadi senjata menghadapi tipu daya Dajjal.

Jihad menjadi upaya kolektif membebaskan dunia dari tirani sistem kufur global.

Menanggalkan nubuwat eskatologis sama dengan mematikan nyawa Sunnah. Menjaganya adalah kewajiban strategis agar umat Islam tetap menjadi pelaku utama dalam skenario sejarah besar yang ditetapkan Allah hingga Hari Kiamat.

Kerancuan Eskatologis

Empat puluh hari Dajjal di bumi bukan sekadar simbolik, bukan metafora semata, melainkan peta waktu strategis yang terjalin dengan presisi dalam nash-nash eskatologis Islam.

Setiap figur akhir zaman: Dajjal, Imam Mahdi, Nabi Isa, Ya’juj dan Ma’juj, diuraikan dengan rinci: ciri fisik, garis keturunan (nasab), tempat kemunculan, misi, hingga urutan peristiwa.

Ini bukan mitos kabur, melainkan detail profetik yang tak mungkin diabaikan kecuali dengan menolak sunnah itu sendiri.

Dajjal: Sosok pria muda, berambut keriting, bermata satu (kanan rusak seperti buah anggur busuk), bertubuh besar, tertulis di dahinya “KAFIR” yang hanya terbaca oleh orang beriman.

Ia muncul dari Isfahan, Iran, bersama 70.000 pengikut Yahudi. Ia akan menjelajahi seluruh bumi kecuali Makkah dan Madinah. (HR. Muslim, 2934; HR. Ahmad, 23139).

Imam Mahdi: Seorang keturunan Nabi Muhammad dari garis Hasan bin Ali, dengan nama Muhammad bin Abdullah, berwajah bercahaya, berhidung mancung, dan dahi lebar. Ia akan muncul di Makkah, dibai’at di dekat Ka’bah antara Rukun dan Maqam Ibrahim. Kemunculannya ditandai gempa besar yang menenggelamkan pasukan yang memburunya.

Ia akan memimpin umat untuk mempersatukan barisan, menegakkan keadilan, dan menjadi pemimpin dalam perlawanan terhadap Dajjal, bersama Isa Al-Masih (HR. Abu Dawud, 4282; HR. Tirmidzi, 2230).

Nabi Isa AS: Turun di menara putih di sebelah timur Damaskus, mengenakan dua kain berwarna kekuningan, tangannya bertumpu pada sayap malaikat, rambutnya meneteskan air.

Ia turun menjelang subuh, dan shalat bersama Imam Mahdi, membunuh Dajjal di gerbang Ludd, dan mematahkan salib, membunuh babi, serta menghapus jizyah. (HR. Muslim, 2937; HR. Abu Dawud, 4324).

Ya’juj dan Ma’juj: Kaum kuat, bermata kecil, berhidung pesek, berwajah lebar, rambut kemerahan, bertubuh kekar. Mereka keluar dari benteng yang dibangun oleh Dzulqarnain, menyebar cepat ke seluruh bumi, menghabiskan air dan sumber daya, hingga akhirnya dimusnahkan oleh wabah di leher mereka melalui doa Nabi Isa. (QS. Al-Kahfi: 94-99; HR. Muslim, 2937).

Semua deskripsi ini lengkap dan presisi, bukan dongeng samar, bukan legenda kosong. Bagaimana mungkin seseorang mengabaikan kehadiran fisik mereka tanpa menolak hadits-hadits yang telah dijaga dalam sanad dan riwayat yang shahih?

Inilah kesalahan fatal sebagian kalangan: menafsirkan figur-figur eskatologis semata sebagai simbol atau metafora, padahal Nabi Muhammad SAW menjelaskannya secara literal dan detail.

Di antara mereka menganggap bahwa pemahaman literal akan figur-figur kunci akhir zaman ini berasal dari tradisi Eskatologi Yahudi dan Kristen. Mereka adalah contoh pemahaman eskatologi yang tertukar: meminggirkan nash dan menggantinya dengan asumsi modernitas, seakan-akan Islam harus tunduk pada narasi sekuler sejarah.

Mereka tidak tahu, bahwa Dajjal, dengan strategi tahapan waktunya, ingin agar umat ini menafsirkan dirinya dan figur akhir zaman lainnya, pelan-pelan menghilang dalam kabut metafora dan simbolisme, menghilang dari kesadaran kolektif umat, sehingga ia lebih leluasa menebar fitnahnya tanpa perlawanan, dan umat kehilangan kewaspadaannya. Inilah strateginya.

Padahal, Eskatologi Islam adalah panduan untuk membaca zaman dengan detil dan presisi yang tidak ada dalam tradisi eskatologi lain. Dajjal bukan hanya sistem, bukan hanya ideologi, tetapi sosok nyata yang hadir di dunia: berjalan, berbicara, dan memimpin umat manusia yang tertipu.

Demikian pula Imam Mahdi, Nabi Isa, dan Ya’juj Ma’juj; mereka adalah aktor-aktor nyata yang akan hadir di panggung sejarah akhir zaman, dengan skenario yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW 14 abad lalu.

Mereka yang menolak eksistensi fisik para figur eskatologis ini, pada hakikatnya telah menggugurkan hadis-hadis mutawatir, dan memutuskan diri dari warisan nubuwah. Mereka adalah kaum yang tertipu, yang melihat akhir zaman dengan mata duniawi, bukan dengan mata hati yang tercerahkan oleh wahyu.

Epilog: Bahaya Pemahaman Eskatologi yang Tertukar

Menganggap Dajjal hanya simbol sama dengan menghapus kewaspadaan umat. Dajjal ingin agar kita menafsirkan dirinya dan figur akhir zaman lain sebagai alegori semata, agar perlahan mereka menghilang dari kesadaran kolektif umat.

Ini strateginya: mematikan kewaspadaan, membuka jalan bagi fitnah global tanpa perlawanan.

Padahal, eskatologi Islam adalah panduan membaca zaman dengan detail yang tidak ada tandingannya di tradisi eskatologi lain.

Dajjal bukan sekadar sistem, bukan hanya ideologi. Dia sosok nyata, yang berjalan, berbicara, memimpin umat yang tertipu. Begitu pula Imam Mahdi, Nabi Isa, dan Ya’juj Ma’juj: mereka nyata, hadir di panggung sejarah akhir zaman.

Menolak eksistensi fisik mereka berarti menolak nubuwah. Itu adalah pemutusan tali warisan Rasulullah SAW, dan bukti tertinggi dari kerancuan eskatologis yang menyesatkan.

Mereka yang menolak figur eskatologis ini adalah kaum yang tertipu, yang akan terkejut ketika realitas akhir zaman hadir satu per satu di depan mata.

والله أعلم

MS 26/06/25

(Foto: ilustrasi/IST)

Posted in

BERITA LAINNYA

Kenaikan UMP Tertinggi, Pemprov Babel Sabet “Naker Award 2023”

 JAKARTA – Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Prov. Kep. Babel) berhasil…

Pimpin Upacara HUT Basarnas ke-52, Pj Gubernur Safrizal Tekankan 5 Poin

BERITAGETAR.COM, PANGKALPINANG – Penjabat (Pj) Gubernur Kepulauan Bangka Belitung (Kep….

Acit Diduga Terjatuh Dari Jembatan, TIM SAR Gabungan Lakukan Pencarian

PANGKALPINANG–Kantor Pencarian dan Pertolongan Pangkalpinang menerima informasi kejadian terhadap seorang…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI