UMKM Beltim Dilatih Digitalisasi Usaha
By beritage |
GETARBABEL.COM, BELTIM— Balai Besar Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Penelitian…
Sunday, 25 May 2025
Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI
“Barangsiapa menolak literalitas eskatologi, ia sedang mempersiapkan panggung bagi Dajjal.”
Dalam salah satu hadis paling monumental mengenai akhir zaman, Nabi Muhammad SAW menyebut bahwa Dajjal akan tinggal di bumi selama empat puluh hari, namun dengan rincian waktu yang aneh dan mencengangkan:
“Dajjal akan tinggal di bumi selama empat puluh hari. Sehari seperti setahun, sehari seperti sebulan, sehari seperti sepekan, dan sisanya seperti hari-hari biasa.”
(HR. Muslim, 2934).
Mengapa Dajjal butuh empat puluh hari? Apakah ini sekadar metafora waktu? Ataukah ini mengandung petunjuk penting bahwa Dajjal tidak sekadar hadir sebagai sosok, tetapi sebagai suatu sistem yang tumbuh melalui fase-fase historis tertentu?
Argumen Akademik: Psikologi dan Sosiologi Kontrol
Penelitian Phillippa Lally dkk. (2009) dalam “European Journal of Social Psychology” membuktikan bahwa manusia membutuhkan 18–254 hari (rata-rata 66 hari) untuk membentuk kebiasaan baru.
Angka 40 hari muncul dalam tradisi spiritual sebagai periode minimum pembentukan pola (misal: retret meditasi, latihan disiplin).
Dajjal memanfaatkan periode ini untuk menanamkan ketergantungan sistemik, mulai dari cashless hingga godless, sehingga masyarakat menganggapnya sebagai “normalitas”.
Theodor Adorno dalam “Dialectic of Enlightenment” (1947) menegaskan bahwa dominasi sistem membutuhkan pembiasaan massa. Angka 40 hari merefleksikan siklus reproduksi ideologi (mirip siklus kapitalisme yang membutuhkan ~40 hari untuk mengubah protes menjadi tren pasar).
Argumen Historis: Pola 40 Hari dalam Narasi Kekuasaan
Dalam Epik Gilgamesh, banjir besar berlangsung 40 hari sebagai simbol pembersihan sekaligus penaklukan.
Firaun dalam tradisi Mesir juga melakukan ritual 40 hari untuk legitimasi kekuasaan (lihat: Book of the Dead).
Dajjal mengadopsi pola ini sebagai siklus peneguhan dominasi.
Catatan Frantz Fanon (The Wretched of the Earth) menunjukkan bahwa kolonialis membutuhkan 40–60 hari untuk menundukkan mentalitas pribumi (contoh: Belanda di Jawa).
Dajjal sebagai “kolonialis akhir zaman” menggunakan logika serupa.
Argumen Filosofis: Metafisika Waktu dan Kekuasaan
Al-Qur’an menyebut 40 harisebagai periode penyempurnaan bentuk janin (QS. Al-Mu’minun: 14),
Musa berkomunikasi dengan Allah selama 40 hari (QS. Al-A’raf: 142), dan Isa diuji di padang gurun selama 40 hari (Injil Markus).
Dajjal membutuhkan 40 hari karena ini adalah siklus penciptaan/penghancuran kosmik.
Dalam Violence and the Sacred, Girard menjelaskan bahwa kekuasaan membutuhkan ritual pengorbanan berjangka (biasanya 40 hari) untuk mempertahankan stabilitas.
Dajjal menggunakan 40 hari sebagai fase “pengorbanan” kebebasan (privacy, iman) untuk menciptakan tatanan baru.
“Dajjal butuh 40 hari untuk membangun sistem, tapi mukjizat hanya butuh 1 detik untuk menghancurkannya.
Ini adalah pertarungan antara waktu ilusi (chronos) dan waktu ilahi (kairos). Ketika dunia terpesona oleh efisiensi 40 hari Dajjal, Allah membalas dengan kecepatan Isra’ Mi’raj; sebuah perjalanan abadi dalam semalam.”
Narasi Waktu yang Mengandung Ujian
Dalam tradisi Islam, angka 40 memiliki muatan spiritual dan transformatif yang sangat kuat. Nabi Musa AS menerima wahyu di Gunung Thur setelah 40 malam (QS. Al-A’raf: 142).
Rasulullah SAW menerima wahyu pertama di usia 40 tahun. Bahkan penciptaan janin hingga ruh ditiupkan terjadi pada hari ke-40 (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din mengatakan:
“Empat puluh adalah waktu pengujian, ketika perubahan terjadi dalam tingkat terdalam: pada akal, hati, dan ruh.”
Dajjal, sebagai ujian terbesar dalam sejarah umat manusia, memanfaatkan simbol ini sebagai kerangka waktu ilahiah untuk membentuk ulang peradaban.
Ia tidak datang tiba-tiba, tetapi menyiapkan fondasi kehadirannya dengan sangat teliti.
Hari pertama yang “seperti setahun” bukan hari biasa, tetapi fase panjang dalam sejarah modern; fase ketika umat manusia perlahan diseret keluar dari poros tauhid dan syariat.
Inilah masa dominasi pemikiran sekuler, kapitalisme global, dan peminggiran nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan publik.
Sheikh Imran Hosein mengidentifikasi fase ini sebagai:
“Fase sistem Dajjal bekerja tanpa kehadiran fisiknya. Dunia dikuasai oleh sistem ribawi, pengendalian politik global, dan propaganda moral yang menyimpang.”
(Jerusalem in the Qur’an, 2001).
Selama fase ini, umat Islam diperkenalkan dengan modernitas sebagai jalan keluar, padahal sejatinya mereka sedang diarahkan meninggalkan warisan spiritual mereka.
Karena itulah, fase ini disebut “sehari seperti setahun”: tampak seperti satu hari, tapi dampaknya mengubah sejarah berabad-abad.
Hari kedua yang “seperti sebulan” menggambarkan percepatan revolusi teknologi dan informasi. Di sini, dominasi ideologis berubah menjadi ketergantungan struktural.
Dunia tidak bisa hidup tanpa sistem Dajjal: ekonomi digital, keuangan virtual, media sosial, dan sensor berbasis AI. Kontrol terhadap opini, konsumsi, bahkan keimanan menjadi otomatis dan masif.
Tokoh sekuler seperti Yuval Noah Harari memperingatkan dalam World Economic Forum:
“Mereka yang mengendalikan data, akan menjadi tuhan-tuhan baru di bumi. Mereka akan tahu lebih banyak tentangmu dibanding dirimu sendiri.”
(WEF Davos, 2020).
Pada fase ini, manusia tidak sadar sedang dijajah, karena semua diselimuti kenyamanan dan kecepatan. Ini sesuai dengan misi Dajjal untuk menyamarkan kebatilan sebagai kemajuan.
Hari ketiga adalah fase kritis, saat manusia telah menyatu dengan sistem Dajjal secara total. Identitas keislaman dikikis habis: hukum syariat ditolak, keluarga tercerai-berai oleh nilai liberal, dan bahkan konsep Tuhan disubstitusi oleh ide humanisme radikal. Inilah masa ketika iman benar-benar diuji.
Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ al-Fatawa mengingatkan:
“Fitnah terbesar adalah ketika manusia mencintai kebatilan dan membenci kebenaran, karena kebatilan itu datang dengan wajah yang mereka sukai.”
(Majmu’ al-Fatawa, 28/201).
Saat sistem global telah menggantikan fungsi agama, Dajjal siap menampakkan dirinya secara fisik, karena umat telah terjebak dalam jebakan tanpa sadar.
Pada fase “hari-hari biasa”, Dajjal hadir sebagai individu. Tapi ia tidak perlu membangun dari nol, karena sistemnya telah siap.
Ia hanya perlu menawarkan diri sebagai penyelamat dunia dari “krisis besar” yang ia ciptakan sendiri.
Siapa yang tidak mengikuti sistemnya akan terputus dari kehidupan: tidak bisa makan, bekerja, atau hidup aman (HR. Muslim, 2934).
Dr. Adian Husaini menyebut masa ini sebagai:
“Masa di mana manusia akan memilih antara iman dan kelaparan. Saat itulah tauhid menjadi sangat nyata: apakah seseorang siap hidup tanpa sistem Dajjal, hanya bergantung kepada Allah?”
(Catatan Akhir Zaman, 2020).
Eskatologi yang Tertukar
Dunia hari ini menyaksikan peperangan makna terbesar dalam sejarah pemikiran Islam; sebuah pertarungan antara eskatologi literal dan eskatologi metaforis.
Dalam eskatologi literal, Dajjal adalah sosok nyata dengan mata buta kanan, keledai raksasa, dan tulisan “kāfir” di dahinya (HR. Muslim).
Imam Mahdi: Lelaki keturunan Nabi, bernama Muhammad bin Abdullah, memimpin dari Makkah (HR. Abu Dawud).
Turunnya Isa AS: Jasad jasmani, shalat di belakang Mahdi, membunuh Dajjal di Lod (HR. Ahmad).
Landasan: Nash-nash shahih dengan sanad mutawatir; Konsensus ulama Ahlus Sunnah selama 14 abad.
Dalam eskatologi simbolik yang berasal dari hermeneutika modern, Dajjal hanyalah metafora untuk kapitalisme/teknologi.
Imam Mahdi: Konsep abstrak tentang “pemimpin reformis”. Turunnya Isa AS: Sekadar kebangkitan nilai-nilai Kristen.
Landasan: Pengaruh filsafat Barat (Hegel, Marx, Foucault); Keinginan “menyamakan” eskatologi Islam dengan agama lain.
Akibat Penukaran Makna:
Jika Dajjal hanya simbol, bagaimana umat akan mengenalinya saat ia benar-benar muncul dengan mukjizat palsu?
Jika Imam Mahdi hanya mitos, siapa yang akan berbaiat ketika ia berdiri di Ka’bah?
Banyak intelektual Muslim abai pada kebangkitan Khilafah karena menganggap “Imam Mahdi” hanyalah alegori.
Begitu eskatologi dianggap metafora, konsep lain seperti malaikat, jin, dan akhirat juga bisa diubah jadi simbol. Ini adalah pintu menuju naturalisme (segala sesuatu harus rasional/materi).
Dulu Mu’tazilah menolak siksa kubur dengan dalih “hanya peringatan simbolis”. Kini, sebagian liberal mengulangi cara yang sama.
Dajjal sistem dilawan dengan ekonomi alternatif dan kesadaran ideologi; Dajjal fisik dilawan dengan doa, isolasi, dan senjata.
Bahayanya: Jika umat hanya sibuk melawan “Dajjal metaforis” (kapitalisme/teknologi), mereka akan lalai menyiapkan amunisi untuk Dajjal fisik.
Ini bisa terjadi karena:
Sebagian cendekiawan Muslim merasa “kuno” jika meyakini Dajjal literal, lalu mengadopsi tafsiran Barat.
Orientalis sengaja mempromosikan tafsir metaforis untuk memutus umat dari tradisi Nabi.
Contoh: Kitab The Messiah Idea in Jewish History (Julius H. Greenstone) menyamakan Dajjal dengan “krisis moral”, bukan sosok nyata.
Di era sains, segala yang tak terindera dianggap tak masuk akal. Padahal, mukjizat memang melampaui logika.
Strategi menghadapinya adalah:
Balikkan narasi dengan menegaskan literalitas dengan Dalil. QS. An-Najm: 3-4: “Nabi tidak berbicara dari hawa nafsu, itu wahyu.”; Hadis Dajjal diriwayatkan lebih dari 70 sahabat. Mustahil itu hanya kiasan.
Beberkan agenda di balik tafsir metaforis: Tujuan akhirnya ialah melemahkan kesiapan umat menghadapi akhir zaman.
Seperti kata Syekh Abdul Qadir al-Jilani:
“Dajjal akan datang saat manusia sudah meragukan keberadaannya.”
Dunia sedang diarahkan kepada sebuah narasi tunggal, bahwa eskatologi adalah mitos, dan akhir zaman adalah fiksi.
Tapi Islam datang dengan terang, bahwa: Dajjal ada, Mahdi akan datang, dan Isa AS akan turun.
Apakah kita akan membaca tanda-tanda itu sebagai peringatan, atau mengubahnya menjadi puisi filsafat yang tak jelas?
“Barangsiapa menolak literalitas eskatologi, ia sedang mempersiapkan panggung bagi Dajjal.”
والله أعلم
MS 25/05/25
(Foto: ilustrasi/IST)
Posted in SOSBUD
GETARBABEL.COM, BELTIM— Balai Besar Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Penelitian…
GETARBABELCOM JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Ketua…
JAKARTA – Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) menggandeng berbagai pihak…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…