Jiwa Yang Tenang Di Tengah Bumi Yang Retak (31):  Dari Geopolitik Ke Geoprofetik (Eskatologi Sebagai Navigasi Akhir Zaman)

images (7)

Mereka yang menganggap Dajjal sebagai metafora, sedang mempersiapkan panggung bagi kekuasaannya.

Di panggung sejarah yang tetak, di mana tembok-tembok ideologi runtuh, mata uang bergoyang, dan perang-perang baru lahir, kitab suci tidak sekadar menawarkan hiburan rohani. Ia membentangkan peta yang terang benderang.

“Mereka yang menolak literalitas Dajjal,” tulis Syekh Imran Hosein, “telah menjual kacamata umat kepada sang penipu itu sendiri.”

Ini bukan tentang ketakutan, tapi tentang kesadaran.

Ketika Nubuat Menjelma Menjadi Peta Dunia

Hadits tentang Dajjal yang menyebut bahwa ia tinggal di bumi “satu hari seperti setahun, sebulan, sepekan…” (HR. Muslim), bukanlah teka-teki simbolik yang menanti dimaknai secara alegoris.

Ia adalah kode geopolitik yang kini dapat dibaca sebagai peta sejarah dunia modern:

Satu hari seperti setahun: Era Pax Britannica (1815–1945), imperium global tempat “matahari tak pernah terbenam.”

Satu hari seperti sebulan: Pax Americana (1945–2001), hegemoni singkat yang cepat memudar.

Satu hari seperti sepekan: Pax Judaica, fase dominasi sistem Zionis yang lebih padat dan berumur pendek, sebelum keruntuhan final.

Hari-hari lainnya sama seperti hari kalian, adalah fase puncak fitnah zaman, ketika Dajjal muncul secara fisik dalam wujud manusia biasa, sebelum kehancurannya.

Nabi ﷺ pernah bersabda dalam hadits Bukhari: “Waktu terasa dipadatkan—tahun seperti bulan, bulan seperti minggu…”

Kita hidup di fase pemadatan itu, era ketika sejarah berakselerasi dan nubuat berwujud dalam bentuk krisis global.

  1. Ya’juj dan Ma’juj: Bukan Ancaman Masa Depan, Tapi Kini

“Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya’juj dan Ma’juj, dan mereka turun dari seluruh tempat yang tinggi…” (QS. Al-Anbiya’: 96).

Kata kerja “futiḥat” (dibukakan) dalam bentuk lampau menunjukkan bahwa Ya’juj dan Ma’juj bukan sekadar ancaman futuristik, melainkan realitas kontemporer.

Mereka adalah “banjir baja”, ekspansi militer, industrialisasi, dan kolonialisme abad ke-19, yang kini berubah bentuk menjadi globalisasi neoliberal, sistem teknologi pengawasan, dan penetrasi digital yang merusak struktur sosial dunia.

Globalisasi hari ini adalah bentuk modern dari kerusakan yang disebutkan dalam QS. Al-Kahfi: 94.

Bahkan, tembok Zulkarnain mungkin telah runtuh secara simbolik, digantikan oleh firewall, algoritma, dan kecerdasan buatan sebagai tembok yang tak terlihat.

Namun, di tengah banjir informasi dan relativisme tafsir, umat justru sibuk mempertanyakan eksistensi Ya’juj-Ma’juj alih-alih mengidentifikasi manifestasi destruktif mereka yang nyata.

  1. Dajjal: Sistem Nyata, Bukan Simbol Abstrak

Hadits Muslim 2937 menyebutkan Dajjal akan tinggal di bumi selama 40 hari dengan rincian waktu yang sangat spesifik: satu hari seperti setahun, satu hari seperti sebulan, satu hari seperti sepekan, dan sisanya seperti hari-hari biasa.

Ini bukan bahasa metafora spiritual, tapi skema sejarah terukur.

Jika Dajjal hanyalah metafor, mengapa Nabi ﷺ memberikan rincian kronologis yang sangat konkret?

Dalam realitas geopolitik hari ini, Dajjal belum berwujud sebagai individu, tetapi dalam bentuk sistem terintegrasi yang berjalan di atas pundak manusia: kapitalisme ribawi, surveillance capitalism, teknologi manipulatif seperti deepfake, dan mesin propaganda global.

Semua itu adalah “mata satu” yang kini mengawasi dan mengendalikan dunia dengan satu pandangan ideologis.

  1. Dua Penyelamat di Ujung Lorong Gelap

Nabi ﷺ dan para sahabat tidak pernah mengajarkan bahwa Imam Mahdi adalah simbol kesalehan abstrak, atau bahwa Isa bin Maryam hanya lambang transformasi moral.

Justru sebaliknya: mereka adalah penyelamat fisik dengan peran geopolitik yang nyata.

Hadits Abu Dawud menyebut Imam Mahdi akan memimpin selama tujuh atau sembilan tahun.

Ia bukan fiksi apokaliptik, tapi seorang pemimpin dengan pasukan, menjadikan Baitulmaqdis sebagai pusat pemerintahan, dan kemunculannya ditandai oleh turunnya hujan dan keadilan yang merata.

Nabi Isa akan turun di menara putih Damaskus (HR. Muslim), mematahkan salib, yakni sistem peradaban yang dibangun atas nama kekristenan imperialis, dan membunuh babi, simbol dari sistem ekonomi eksploitatif yang memperbudak manusia.

Jika semua ini hanyalah simbol, maka kepada siapa Nabi Isa akan turun? Dan siapa musuh fisik yang harus ia hadapi?

  1. Tiga Cabang Bayangan Kekuasaan

“Berangkatlah kalian ke dalam bayangan yang mempunyai tiga cabang…” (QS. Al-Mursalat: 30).

Tafsir geoprofetik melihat tiga cabang itu sebagai simbol dari tiga sistem dominasi dunia: politik, ekonomi, dan militer.

Atau lebih spesifik, tiga fase kekuasaan global: Britania (imperialisme), Amerika (kapitalisme), dan Zionisme (hegemoni ideologis).

Ketiganya menciptakan naungan palsu yang mengelabui manusia dari cahaya kebenaran.

Tafsir ini konsisten dengan fase-fase dalam Hadits Dajjal dan Ayat Ya’juj-Ma’juj. Dunia kini berada dalam tahapan sistematis menuju klimaks konflik akhir zaman, yang memerlukan kesiapan spiritual dan kesadaran geopolitik dari umat Islam.

Syekh Imran Hosein menegaskan bahwa menolak literalitas tanda-tanda akhir zaman sama dengan membutakan umat dari musuh nyata.

Ia mengajak kita memahami nubuat Nabi ﷺ sebagai Roadmap Ilahi, peta jalan untuk bertahan di tengah pertarungan terbesar antara hak dan batil.

Imam Mahdi bukan mitos. Nabi Isa bukan alegori. Dajjal bukan simbol batiniah. Semuanya adalah figur nyata yang akan hadir dalam konteks konflik geopolitik global.

Eskatologi bukan hanya urusan hari kiamat, tapi fondasi kesadaran politik dan sosial umat hari ini.

Jika umat Islam gagal membaca peta ini, mereka akan tersesat di jalan sejarah yang salah, tunduk pada sistem yang dibangun oleh Dajjal, dan kehilangan kesempatan untuk berdiri di pihak yang benar dalam pertarungan akhir zaman.

Menjadikan eskatologi sebagai pusat kesadaran strategis umat adalah langkah pertama menuju kebangkitan. Figur-figur akhir zaman harus dipahami secara fisik, karena Al-Qur’an dan Hadits menyampaikannya dengan bahasa literal yang konsisten.

Inilah saatnya umat Islam membuka mata: bahwa nubuat bukan masa depan yang kabur, tapi kenyataan yang kini sedang menjelma di peta dunia.

Epilog: Geoprofetik, Seni Membaca Peta Ilahi

Di retakan zaman ini, geopolitik konvensional telah mati. Ia digantikan oleh geopropetik, ilmu membaca peta dunia melalui lensa nubuat:

Perang Dunia bukan lagi sekadar konflik teritorial, tapi perwujudan dari “peperangan besar di akhir zaman” (HR. Ahmad).

Krisis ekonomi bukan hanya siklus pasar, melainkan jejak kaki “sistem riba yang akan menghancurkan” (QS. Al-Baqarah: 275).

Revolusi teknologi bukan kemajuan netral, tapi mata Dajjal yang melihat dari ujung dunia ke ujung lainnya” (HR. Tirmidzi).

Nubuat mengubah cara kita memandang peta:

Jerusalem bukan ibu kota politik biasa, ia adalah pusat magnetik di peta eskatologi, tempat Dajjal akan dikalahkan dan Nabi Isa akan turun.

Sungai Eufrat bukan sekadar sumber air, ia adalah garis depan perang emas (HR. Muslim) dan bendungan yang akan dihancurkan.

Dataran tinggi Kaukasus bukan hanya pegunungan, tapi lokasi tembok Zulkarnain yang telah terbuka (QS. Al-Kahfi: 94).

“Inilah yang memisahkan mukmin sejati dari penonton sejarah,” tulis Malik Bennabi. “Yang pertama membaca ayat-ayat zaman, yang kedua hanya membaca headline koran.”

Geopropetik adalah senjata terakhir melawan tiga musuh:

  • Materialisme yang menyangka sejarah adalah produk manusia semata.
  • Skeptisisme yang menganggap nubuat sebagai dongeng timur tengah.
  • Pasifisme yang menunggu kiamat dengan tangan terlipat.

Kita berdiri di persimpangan: satu jalan menuju peta buta geopolitik modern, jalan lain menuju peta bernyawa yang diwariskan Nabi, geoprofetik.

Pilihan ini akan menentukan apakah kita menjadi fosil sejarah, atau saksi kemenangan yang dijanjikan.

“Maka tidakkah mereka berjalan di muka bumi sehingga memiliki hati untuk memahami?” (QS. Al-Hajj: 46).


Peta di Atas Retakan

Mereka bilang Dajjal metafora,
tapi QR code di pergelangan
mulai berbicara bahasa
yang tak kita pahami.

Sejarah dipadatkan:
dari Britania yang gemuk
ke Amerika yang gugup,
lalu Yahudi yang tersedak
dalam tujuh hari.

Ya’juj-Ma’juj bukan lagi dongeng;
mereka turun dari layar kaca,
dari algoritma yang membelah langit,
dari tembok-tembok yang kita bangun
untuk menutupi ketakutan.

Salib bukan lagi kayu,
tapi sistem yang mencetak
manusia dalam mesin riba.

Babi bukan ternak,
tapi industri yang menggembungkan
perut kita dengan racun.

Mata Dajjal berkedip
dalam kamera pengintai,
dalam uang digital yang menguap,
dalam senyum politisi
yang menjual surga palsu.

Kita terjepit:
antara yang mengira kiamat adalah dongeng,
dan yang terpaku pada tanda-tanda
hingga lupa bertindak.

Jerusalem adalah pusaran zaman;
Eufrat adalah garis darah; Kaukasus adalah bekas luka tembok yang terbuka.

Bumi retak, tapi Peta Ilahi masih terbentang:
“Tidakkah kau berjalan
sehingga hatimu mengerti?”

Sekarang pilih: jadi arsip sejarah,
atau saksi yang bangkit
dengan pedang kesadaran.

Karena nubuwat bukan dongeng atau tahayyul,
tapi peta yang hidup di dada para mukmin.

Jika nubuwat adalah tahayyul,
dan jika yang dimaksud tahayyul itu menunjuk kepada nubuwat,
masih layakkah kita mengaku umatnya?

Dan kiamat?
Ia tidak datang diam-diam.
Ia mengetuk. Sekarang.

والله أعلم

MS 19/05/25

(foto: ilustrasi/IST)

Posted in

BERITA LAINNYA

67% Luas Desa Riding Panjang Babak Belur

GETARBABEL.COM, BANGKA– Forum Hidrologi Nasional (FHN) memaparkan 67% dai luasan…

Info Penting Bagi Penceramah! Kemenag Keluarkan Edaran Pedoman Ceramah Keagamaan

JAKARTA—Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia menerbitkan Surat Edaran (SE) Menteri…

Empat Nama Ambil Formulir Calon di Golkar

GETARBABEL.COM, BANGKA- Sejak dibukanya masa pendaftaran calon kepala daerah, sedikitnya…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI