Ketua DPRD Babel Mendadak Panggil Pemangku Kepentingan, Bahas Monumen Pahlawan Depati Amir
By beritage |
PANGKALPINANG—Dalam mendukung percepatan pembangunan monumen pahlawan nasional Depati Amir, Ketua…
Thursday, 15 May 2025
Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI
Ketika peta dunia berubah, hanya rantai spiritual yang tetap menghubungkan Baitul Maqdis dengan takdir sejarah.
DALAM sejarah peradaban Islam, geopolitik bukan semata ruang kuasa dan strategi, tetapi juga medan suci perjuangan spiritual. Baitul Maqdis tidak pernah hanya menjadi objek sengketa, melainkan simbol dari rantai emas nubuwah yang merentang dari Ibrahim hingga Muhammad ﷺ.
Dalam tradisi Islam klasik, kota ini adalah barometer moral umat. Maka, ketika modernisme Islam berupaya mereduksi dimensi spiritual menjadi sekadar simbol atau metafora, sesungguhnya yang ditanggalkan bukan hanya makna, tetapi juga orientasi sejarah.
Era Umar ibn al-Khattab (Abad ke-7): Imperium Tauhid di Tengah Dua Superpower
Konteks geopolitik dunia saat itu adalah benturan antara dua kekuatan besar: Imperium Byzantium (Kristen Ortodoks) dan Persia Sassaniyah (Zoroastrian).
Keduanya telah terlibat dalam perang yang panjang dan merusak antara tahun 602 hingga 628 M, yang membuat keduanya melemah secara militer dan ekonomi.
Umar ibn al-Khattab, khalifah kedua dalam Khilafah Rasyidah, membaca celah sejarah ini dengan pendekatan “futuhat al-qulub”, pembebasan hati. Bukan sekadar ekspansi wilayah, tetapi penaklukan spiritual.
Kebijakan jizyah ringan, perlindungan bagi ahl al-dhimma, serta penolakan Umar atas tawaran untuk shalat di dalam Gereja Makam Kudus di Yerusalem demi menjaga harmoni antaragama, adalah bentuk diplomasi spiritual yang sulit dijangkau oleh rasionalisme modern.
Namun, pemikir seperti Harun Nasution dalam “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” cenderung mereduksi futuhat ini sebagai “ekspansi teritorial biasa,” yang secara epistemologis memutus relasi sejarah dengan janji Rasulullah ﷺ tentang pembebasan Baitul Maqdis (HR. Bukhari).
Era Shalahuddin al-Ayyubi (Abad ke-12): Restorasi Spiritual Melawan Perang Salib
Pada abad ke-12, Eropa bersatu di bawah seruan Paus Urbanus II yang mengobarkan Perang Salib pertama pada tahun 1095 M.
Yerusalem jatuh ke tangan Tentara Salib pada 1099 M, disertai pembantaian massal terhadap umat Muslim dan Yahudi.
Shalahuddin muncul dari kancah fragmentasi politik Islam, di mana dunia Islam terpecah antara Fatimiyah (Syiah), Seljuk (Sunni), dan kekuatan lokal lainnya.
Ia menyatukan Mesir dan Syam melalui diplomasi, pernikahan politik, dan pembentukan jaringan tarekat Sufi seperti Qadiriyah dan Rifa’iyah sebagai basis soft power.
Sementara tokoh modernis seperti Nurcholish Madjid dalam “Islam, Doktrin, dan Peradaban” menyebut kemenangan Shalahuddin sebagai hasil dari “kepemimpinan rasional”.
Padahal sejarah mencatat dimensi spiritual yang tak kalah dominan. Surat Shalahuddin kepada Richard the Lionheart berbunyi: “Kami tidak takut pada pasukanmu, tetapi pada dosa-dosa kami sendiri”.
Ini menunjukkan jihad bukan hanya fisik, tetapi juga jihad an-nafs.
Era Pra-Al-Mahdi (Abad ke-21): Multipolaritas dan Krisis Spiritual
Pasca-Perang Dingin, dunia memasuki era unipolaritas yang didominasi oleh Amerika Serikat.
Namun sejak krisis finansial 2008 dan pandemi global, muncul kebangkitan kekuatan multipolar: China, Rusia, Iran, bahkan aktor non-negara seperti Hamas dan Hizbullah.
Sementara itu, Israel bergeser dari zionisme sekuler ala Theodor Herzl ke zionisme mesianik seperti yang diwakili oleh kelompok Gush Emunim.
Mereka meyakini pembangunan Bait Ketiga dan Al-Aqsha akan mempercepat kedatangan Mesias versi Yahudi, yang dalam tradisi Islam disebut sebagai Dajjal.
Dalam konteks ini, narasi spiritual Al-Mahdi menjadi penting. Namun Harun Nasution menyebut Al-Mahdi sebagai “metafora kemajuan ilmu pengetahuan,” menghilangkan aspek kenabian dan tanda-tanda akhir zaman yang nyata.
Sebaliknya, Syekh Nazim al-Haqqani dari Tarekat Naqsyabandiyah menegaskan: “Al-Mahdi adalah manusia darah-daging yang akan memimpin pasukan dari Khorasan, bukan simbol.”
“Akan keluar dari Khurasan panji-panji hitam yang tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun hingga ditancapkan di Iliya’ (Baitul Maqdis).”
(Kitab Sunan al-Tirmidzi; Musnad Ahmad).
Meskipun statusnya diperdebatkan, namun didukung oleh banyak Hadits lain, di antaranya:
“Jika kalian melihat panji-panji hitam datang dari arah Khurasan, maka datangilah, karena di dalamnya ada Khalifah Allah al-Mahdi.”
Hadis ini memiliki beberapa jalur sanad. Al-Hakim menilai hadis ini sahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim.
Ia akan disiapkan langsung oleh Allah dalam semalam:
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:
“Al-Mahdi adalah dari kami Ahlul Bait. Allah akan memperbaikinya dalam satu malam.”
(Musnad Ahmad, 5506).
Hadis dari Ibnu Majah:
يُصْلِحُهُ اللَّهُ فِي لَيْلَةٍ
“Allah akan memperbaikinya dalam satu malam.”
Para ulama memaknai kalimat, “yushlihuhu fi laylah”, bahwa dia sebelumnya bukan sosok yang menonjol atau belum dikenal sebagai pemimpin umat, lalu Allah mengilhamkan, mengubah dan mempersiapkannya secara spiritual dan mental dalam waktu yang singkat.
Ini sering dijadikan dalil bahwa kemunculan Imam Mahdi bisa terjadi secara tiba-tiba, dan bahwa persiapannya adalah langsung dari Allah, bukan hasil dari pendidikan panjang atau sistem politik manusia biasa.
Pilar Spiritualitas sebagai Ruh Perlawanan
Perlawanan dalam Islam bukan semata ekspresi fisik melawan musuh eksternal. Ia berakar dalam dimensi ruhani, perang batin melawan hawa nafsu, kemunafikan, dan kebencian.
Sejarah membuktikan bahwa kemenangan yang abadi tidak lahir dari keunggulan senjata, tetapi dari kejernihan jiwa dan kemurnian niat.
Pilar-pilar spiritualitas ini terpancar kuat dalam jejak tokoh-tokoh besar Islam seperti Imam Al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Shalahuddin al-Ayyubi, dan Syekh Izzuddin al-Qassam.
Imam Al-Ghazali, menyaksikan kehancuran moral umat pasca tragedi Salib di Yerusalem, memilih jalan uzlah selama satu dekade.
Ia tidak membalas dengan pedang, tetapi dengan pena. Karyanya Ihya’ Ulumuddin menjadi revolusi ruhani, mengajarkan bahwa penjajahan sejati bermula dari kerusakan jiwa umat.
Fanatisme mazhab dan hegemoni politik tanpa ruh hanya mempercepat kehancuran dari dalam.
Syekh Abdul Qadir al-Jilani membawa dimensi baru: bahwa kekuatan spiritual mampu menaklukkan dunia material.
Falsafah futuwwah (Ksatria Ruhani) yang menaklukkan egonya terlebih dahulu, menjadi warisan utama bagi murid-muridnya, termasuk Shalahuddin.
Ia tidak hanya mengajarkan zikir, tetapi juga jihad dalam makna terdalam: membebaskan manusia dari dominasi hawa nafsu.
Shalahuddin al-Ayyubi adalah perwujudan dari murid spiritual yang memimpin umat dengan hati yang bersih.
Ia tidak hanya membebaskan Yerusalem, tetapi memulihkan martabat Islam dengan kasih sayang dan keadilan.
Dihiasi doa, puasa, dan pujian kepada gurunya, ia menunjukkan bahwa pemimpin besar lahir dari jiwa yang tunduk kepada Allah, bukan dari ambisi pribadi.
Dalam konteks kontemporer, warisan ini diteruskan oleh Syekh Izzuddin al-Qassam, sufi pejuang dari Tarekat Syadziliyah, yang gugur melawan kolonial Inggris.
Namanya diabadikan oleh sayap militer Hamas, sebagai simbol bahwa perlawanan Palestina bukan sekadar nasionalisme, tapi lanjutan dari jihad ruhani yang diwariskan para pendahulunya.
Dari masa ke masa, spiritualitas terbukti sebagai ruh perlawanan yang tak lekang oleh zaman.
Ia bukan sekadar pelengkap, tetapi fondasi. Ia bukan pelarian dari kenyataan, tapi kekuatan untuk menghadapinya.
Ketika umat kembali menapaki jalan ini, jihad akan kembali kepada makna sejatinya: perjuangan yang menghubungkan bumi dan langit.
Mencabut Ruh dari Jasad: Kritik Atas Modernisme
Nurcholish Madjid mengganti konsep jihad dengan “pembangunan ekonomi” (dalam “Islam Kemodernan Keindonesiaan”).
Fakta Gaza: Hamas menggunakan puisi Sufi Ibnu Arabi (Tarjuman al-Ashwaq) sebagai pengobar semangat perlawanan.
Modernis menyebut hadis Al-Mahdi sebagai “mitos politik”. Padahal, Imam Ibn Khaldun dalam “Muqaddimah” membedakan antara6 dongeng dan tanda-tanda sejarah yang sahih.
Modernis mengadopsi hermeneutika Barat (seperti Paul Ricoeur) untuk menafsir Al-Qur’an, sehingga mengubah fakta fisik (Al-Aqsha) menjadi abstraksi simbolis-filosofis.
Syekh Imran Hosein mengingatkan: “Jika Al-Aqsha hanya simbol, mengapa Zionis begitu obsesif menghancurkannya?”
Sebab, yang diperebutkan bukan hanya tanah, tetapi takdir sejarah.
Epilog: Menyambung Mata Rantai Emas
“Setiap zaman memiliki Umar-nya, Shalahuddin-nya, dan tentu saja, Dajjal-nya.”
Zaman Umar, musuhnya adalah imperium yang terlihat (Byzantium). Zaman Shalahuddin, musuhnya adalah perang ideologi (Salibis vs. Sufi). Zaman kita, musuhnya adalah ghazwul fikri (perang pemikiran) yang menjauhkan umat dari hakikat spiritual perlawanan.
Narasi ini menegaskan kesinambungan sejarah dalam kacamata Islam spiritual. Al-Aqsha tidak bisa direduksi menjadi sengketa real estate, dan Al-Mahdi bukanlah mitos teologis, melainkan keniscayaan sejarah sebagaimana dijanjikan Rasulullah ﷺ.
Syekh Ahmad Yasin, pendiri Hamas, menegaskan: “Mereka yang meragukan kemunculan Al-Mahdi, telah meragukan janji Allah. Dan mereka yang melawan Palestina, sedang melawan takdir langit.”
Sayyid Qutb menambahkan: “Peradaban modern adalah jahiliyah baru yang lebih berbahaya.”
Ismail Raji al-Faruqi menutup refleksi ini dengan tajam: “Desakralisasi Al-Quds adalah pembunuhan kedua setelah pembantaian fisik.”
Zionis boleh menguasai peta, tetapi tidak akan pernah menguasai takdir sejarah. Al-Aqsha akan tetap menunggu sang Pembebas.
والله أعلم
MS 14/05/26
Posted in SOSBUD, Uncategorized
PANGKALPINANG—Dalam mendukung percepatan pembangunan monumen pahlawan nasional Depati Amir, Ketua…
Oleh: AHMADI SOFYAN KEBERADAAN Geng Motor di Negeri Serumpun Sebalai…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Guna menciptakan situasi keamanan ketertiban masyarakat (kamtibmas)…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…