Nongkrong Depan Ramayana, Mobil Atribut Calon Wako Disorot Warganet
By beritage |
GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG- Mobil yang beratribut Calon Walikota Pangkalpinang yang parkir…
Tuesday, 13 May 2025
Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI
Mungkin, pada akhirnya, bukan dunia yang harus kita pahami, tetapi diri kita sendiri. Dalam diam, dalam kesunyian, kita belajar mendengarkan apa yang dunia coba katakan kepada kita tanpa kata-kata.
DUNIA kini mengenakan topeng yang lebih halus, lebih canggih. Kita melihatnya setiap hari, dalam bentuk yang tampaknya familiar: mata uang digital yang terhubung, algoritma yang mengatur hidup kita lebih dari yang kita sadari.
Ketika kita bertransaksi, berbicara, bahkan bermimpi, semuanya sudah diprogramkan oleh sesuatu yang tak kita lihat namun kita ikuti.
Topeng itu kini menyatu dengan wajah kita. Tanpa sadar, kita pun menjadi bagian dari arus besar yang mengalir tak kasat mata, menuntun kita tanpa pilihan lain.
Namun, di balik topeng ini, ada jejak-jejak yang tertinggal, jejak yang kita tinggalkan setiap kali kita memilih untuk mengikuti atau melawan arus.
Jejak-jejak itu tidak terhapus oleh waktu, meski dunia berputar lebih cepat dari yang kita duga. Kita berjalan di jalan yang telah disiapkan bagi kita, namun kadang ada saat-saat di mana kita merasakan bahwa kita tidak benar-benar berada di jalan itu.
Ada ruang yang lebih hening di dalam diri kita, sebuah ruang yang tidak bisa dijangkau oleh layar atau suara-suara di sekitar.
Ruang itu adalah tempat kita bertemu dengan diri yang lebih dalam, dengan jiwa yang tenang yang mengetahui sesuatu yang lebih besar sedang bersembunyi di balik kabut ini.
Kabut itu adalah bentuk dari segala sesuatu yang tidak terlihat, dari dunia yang disamarkan, dari sistem yang disembunyikan di balik ilusi. Semakin kita mengikutinya, semakin kabur garis antara apa yang nyata dan apa yang hanya pencitraan.
Topeng itu bukan hanya dipakai oleh sistem, tetapi juga oleh kita sendiri. Kita, sebagai bagian dari dunia yang terbungkus dalam teknologi, telah menjadi aktor dalam drama besar yang kita ciptakan bersama.
Namun, jejak-jejak sunyi yang kita tinggalkan adalah bukti bahwa kita ada. Bukti bahwa ada percikan cahaya yang menolak padam di tengah gelapnya sistem yang menipu.
Seperti kata Ibnu ‘Arabi: “Hati adalah rumah Tuhan. Maka bersihkanlah rumah itu dari segala selain-Nya.”
Karena hanya dalam hati yang bersih, kabut dapat terangkat, dan wajah yang sejati dapat terlihat.
Ungkapan tasawuf klasik, “من عرف نفسه فقد عرف ربه” (Barang siapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya), bukan sekadar nasihat spiritual, tetapi fondasi dari segala pencarian sejati.
Makna filosofisnya begitu dalam: bahwa seluruh pencarian kebenaran, keadilan, dan kebebasan, termasuk perjuangan seperti di Palestina, bermula dari kedalaman jiwa yang sadar akan keberadaannya. Bahwa kezaliman terbesar bukanlah hanya penjajahan atas tanah, tetapi penjajahan atas kesadaran.
Epilog: Palestina, Algoritma, dan Topeng Digital dalam Sasakala Sunda
Dalam Carita Pantun Mundinglaya Dikusuma, ada adegan penyelaman ke dasar Danau Sutra untuk mencari cupu manik astagina (mustika kebijaksanaan).
Ini paralel dengan konsep tasawuf: “Pencarian diri adalah penyelaman ke danau jiwa, di mana mustika itu sudah ada dalam dada kita.” (Syekh Abdul Qadir al-Jilani).
Petani Sunda punya tradisi leumah tipar (membiarkan tanah kosong sementara waktu).
Ini mirip konsep fana dalam tasawuf: tanah harus “kosong” dulu sebelum ditanami baru. Jiwa harus “kosong” dari ego sebelum diisi makrifat.
Dalam Sasakala Sangkuriang, Gunung Tangkuban Parahu terbelah karena kesombongan. Tapi dari retakannya muncul danau yang menghidupi.
Palestina adalah sasakala modern: Retakannya bukan akhir, tapi awal dari kesadaran baru.
Seperti dalam pantun Bogor: “Cai téh ngocor ti gunung, nyusu ka bumi, nu nyusu ka jati diri.” (“Air mengalir dari gunung, menyusu ke bumi, yang menyusu ke hakikat diri).
Dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian disebutkan:
“Hirup téh kudu tumaruntun, saperti niisan dina batu.” (“Hidup harus berkesinambungan, seperti ukiran pada batu”).
Mengenal diri adalah mengukir kesadaran abadi di atas batu waktu. Tasawuf memberinya nama dzikrullah. Jawa menyebutnya eling. Sunda mengenalnya sebagai ngamumulé rasa.
Tapi semua bermuara pada satu titik: Palestina, algoritma, atawa topeng digital, éta kabéh téh ujian pikeun urang néangan nu nyumput dina jero diri sorangan.”
(“Palestina, algoritma, atau topeng digital, semuanya adalah ujian untuk menemukan yang tersembunyi dalam diri sendiri”).
Tradisi Nusantara pun mengenal hal ini. Dalam falsafah Jawa:
“Sangkan paraning dumadi.”
(Sumber dan tujuan dari segala yang ada adalah kembali ke asal-muasal ilahiah).
Kebijaksanaan ini menyatu dalam kehidupan sehari-hari, mengajarkan bahwa mengenal diri adalah mengenal hakikat hidup.
Palestina, pada akhirnya, bukan hanya tempat di peta. Palestina ada di dalam jiwamu sebagai rasa perlawanan, sebagai luka kemanusiaan, sebagai cermin dari keberanian untuk tetap menjadi manusia di tengah dunia yang menolak kejujuran.
Di balik kabut yang kita coba terobos setiap hari, di balik topeng yang kita kenakan untuk bertahan hidup, ada sesuatu yang lebih nyata, lebih tenang, yang menunggu untuk ditemukan.
Mungkin, pada akhirnya, bukan dunia yang harus kita pahami, tetapi diri kita sendiri. Dalam diam, dalam kesunyian, kita belajar mendengarkan apa yang dunia coba katakan kepada kita tanpa kata-kata.
والله أعلم
MS 12/05/25
(foto: ilustrasi/IST)
Posted in SOSBUD
GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG- Mobil yang beratribut Calon Walikota Pangkalpinang yang parkir…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Untuk mengantisipasi kumpul-kumpul pemuda yang melakukan aksi…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sinergitas TNI Polri serta Pemkab Bangka dalam…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…