Jiwa Yang Tenang Di Tengah Bumi Yang Retak (22):  Dari Pax Britannica Ke Pax Judaica, Tiga Topeng Satu Wajah

images (5)

Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI

Mereka yang membaca koran dengan satu mata akan buta sebelum tua. Tapi mereka yang membaca dengan darahnya sendiri, akan melihat senja sebelum fajar tiba.

PAX Britannica, Pax Americana, Pax Judaica — tiga fase bayangan dari permainan tua yang tak pernah berhenti berputar. Tiga topeng untuk wajah yang sama: sang penjajah, yang selalu datang dengan senyum manis, membawa hadiah beracun.

Damai yang mereka tawarkan selalu pisau bermata dua: satu ujung menghunus leher kaum tertindas, satu ujung lagi menulis sejarah dengan tangan besi, mengukir penderitaan sebagai “kehendak Tuhan” atau “kemajuan peradaban”.

Pax Britannica: Lautan yang Berbicara dalam Diam

Sejak Kongres Zionis Pertama di Basel, 1897, hingga Perang Dunia II 1945, Imperium Inggris berdiri sebagai penguasa jalur laut, perdagangan, dan peta politik dunia.

Mereka membangun kerajaan di atas tulang-belulang: setiap pabrik gula di Jawa adalah altar tempat nyawa kuli kontrak dikorbankan demi teh Ratu Victoria. Setiap rel kereta api di India adalah nisan bagi petani yang mati kelaparan.

Mereka menyebutnya civilizing mission, namun bahasa mereka hanya mengenal dua kata: submit atau perish, tunduk atau binasa.

Dalam Hadits Muslim 2937 tentang 40 hari Dajjal di bumi, fase ini digambarkan sebagai “…sehari seperti setahun…”. Hadits ini oleh Syekh Imran dibaca sebagai penjabaran dari Surat Al-Mursalat Ayat 30: “Berlanjutlah ke fase bayangan yang terdiri atas tiga tahap, اِنْطَلِقُوْۤا اِلٰى ظِلٍّ ذِيْ ثَلٰثِ شُعَبٍ

Apakah “peradaban” yang mereka bawa benar-benar demi kebaikan umat manusia? Atau sekadar topeng penindasan yang diselubungi nama kemajuan?

Pax Americana: Kebebasan yang Dijual dengan Kupon Diskon

Fase ini dalam Hadits Muslim digambarkan sebagai “sehari seperti sebulan”. Sejak 1945, Amerika Serikat menggantikan Inggris sebagai polisi dunia. Namun sejak tragedi 9/11, dunia memasuki masa transisi tersembunyi: Pax Americana mulai meretakkan dirinya, perlahan membuka jalan bagi kekuatan baru yang selama ini bekerja dari balik bayang-bayang.

Liberty dan patungnya kini menjadi lelucon pahit. Meriam diganti algoritma, koloni diganti utang, pasukan diganti influencer. Demokrasi hadir dalam bentuk fosfor putih di Fallujah, investasi berarti tambang emas yang menggunduli tanah Papua.

Dunia dijejali tontonan hingga mabuk, menari di atas kapal Titanic yang perlahan tenggelam.

Ketika mereka berbicara tentang kebebasan, sejatinya mereka menciptakan ketergantungan tak kasat mata: membangun dunia dengan fondasi utang, eksploitasi, dan intervensi militer tersembunyi.

Pax Judaica: Tembok yang Dibangun dari Tangisan

“Sehari seperti seminggu”. Pax Judaica belum sepenuhnya tiba, tapi tanda-tandanya sudah menjulang.

Zionisme global, proyek kolonial terakhir yang bersembunyi di balik kitab suci, perlahan melepaskan kedoknya.

Setiap batuan tembok apartheid dicuci dengan air mata Palestina. Mereka menamai tank “Merkava” (kereta perang Tuhan), tapi Tuhan mana yang merestui pembantaian anak-anak Gaza?

Holocaust dijadikan tameng abadi untuk melindungi penjajahan baru, sementara mereka menciptakan holocaust baru dengan label self-defense.

Bom Bali menjadi kembang api terakhir bagi ratusan jiwa tak berdosa, tetapi esok harinya dunia berseru: “Inilah wajah teror!”

Padahal siapa yang sesungguhnya menuai badai dari angin yang mereka tabur?

Doktrin “War on Terror” mendadak menemukan panggungnya bahkan di pulau-pulau yang mereka tak kenal di peta.

Senjata baru dijual, rezim baru dibangun, dan setiap kritik terhadap pendudukan Timur Tengah langsung dicap sebagai “dukungan terhadap teroris.”

Pax Judaica adalah bayangan yang semua orang tahu ada, tapi tak seorang pun berani menunjuk, sebab seperti semua hantu, kekuatannya datang dari ketakutan untuk menyebut namanya.

Epilog: Jiwa yang Menolak Lupa

Api Dajjal telah lama menyala dalam doktrin “there is no alternative”. Ia menjelma dalam saluran berita yang menyanyikan lagu sama dengan irama berbeda: CNN, BBC, Al Jazeera. Semua mata yang memandang dunia dari balik cermin kekuasaan. Namun mata itu hanya satu, dan ia tak bisa melihat kenyataan.

Ia tak melihat bahwa di balik Brexit, mayat Cecil Rhodes tertawa dari kubur; di balik special military operation, ada pipa gas bernilai triliunan dolar; di balik pembangunan, ada kebun sawit di atas tanah adat dan kuburan massal yang dihapus dari peta.

Di antara mata-mata yang dibutakan narasi global, berdirilah seorang lelaki tua dengan janggut memutih: Syekh Imran Hosein.

Sejak tragedi WTC 9/11, ia meninggalkan Amerika Serikat, negeri yang ia tinggali sepuluh tahun, dan tak pernah kembali hingga hari ini. Bukan karena takut stigma “teroris,” tetapi karena ia tahu siapa yang berada di balik topeng tragedi itu.

Ia menolak tunduk pada arus besar “war on terror” yang menguasai kebijakan global, sebab baginya tragedi itu adalah “soft opening” Pax Judaica; fase akhir dominasi dunia, saat zionisme berdiri terang-terangan di puncak menara kekuasaan global.

Itulah sebabnya ia bergegas menyelesaikan bukunya, “Jerusalem in The Qur’an”, yang lama tertunda sejak draf desertasinya di Jenewa, Swiss.

Tertunda karena kekurangan referensi dan perbedaan pandangan mendasar dengan promotornya.

Tragedi WTC mengkonfirmasi asumsi-asumsi besarnya tentang siapa, bagaimana, dan untuk apa mereka ingin mengendalikan dunia.

Pada titik ini, pandangannya bertemu dengan “cendekiawan Amerika paling berbudi,” sebuah atribut yang diberikan media Amerika kepada Noam Chomsky.

Jiwa yang tenang bukan jiwa yang pasrah. Ia adalah luka yang menolak sembuh hanya karena dunia menyuruh lupa.

Ia berjalan perlahan di antara reruntuhan narasi, memunguti serpihan kebenaran yang dibungkam mikrofon-mikrofon mahal, layar plasma, dan selebriti kesadaran palsu.

Ia tahu, damai yang diumumkan dari podium kekuasaan hampir selalu berarti genosida yang dilegitimasi lewat konferensi pers.

Perdamaian yang dijanjikan dengan senyum diplomatik sejatinya ditulis dengan tinta penjajahan baru: utang, tambang, dan basis militer.

Maka ketika bumi retak oleh tambang yang dijaga tentara bayaran, oleh drone yang terbang di atas sekolah dan rumah sakit, oleh undang-undang yang lahir dari lobi-lobi asing, jiwa yang terjaga tidak memilih untuk buta.

Ia tahu siapa yang bersembunyi di balik bayangan. Dan ia memilih untuk menyebut namanya. Sebab, di dunia yang dibungkam oleh rasa takut, menyebut kebenaran adalah bentuk tertinggi dari jiwa yang terjaga.

والله أعلم

MS 10/05/25

(Foto: ilustrasi/IST)

Posted in

BERITA LAINNYA

Tiga Nama Ini Diusulkan Jadi Ketua DPRD Bangka

GETARBABEL.COM, BANGKA– Pasca dilantik sebagai anggota DPRD Bangka periode 2024-2029…

Lembaga Penyiaran Bisa Kena Sanksi Bila Melanggar Pedoman Penyiaran

GETARBABEL.COM, BANGKA- Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kepulauan Bangka Belitung…

Libatkan 9 Parpol, Paslon MAPAN Gelar Deklarasi Besok

*) Mulkan; Kami Bukan Melawan KOTAK KOSONG GETARBABEL.COM, BANGKA- Menjelang…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI