Jiwa Yang Tenang Di Tengah Bumi Yang Retak (11):  Menjelang Jatuhnya Dolar Pax Americana Dalam Bayang-bayang Pax Judaica

images (8)

Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI

Zaman ini adalah ujian bagi jiwa yang terjaga, dan kuburan bagi jiwa yang tertidur. (Syekh Imran Hosein)

DOMINASI dolar AS sebagai mata uang cadangan dunia bermula dari Perjanjian Bretton Woods (1944), yang mengikat nilai mata uang global ke emas melalui dolar. Namun, sejak AS meninggalkan standar emas pada 1971, dolar bertahan hanya berdasarkan kepercayaan: sebuah sistem fiat yang rapuh. 

Kini, AS menghadapi krisis legitimasi: utang nasional melebihi 130% PDB, hiperinflasi mengintai, dan kepercayaan global terhadap dolar mulai runtuh.

Apakah Kejatuhan Dolar Direncanakan?

Pertanyaan mendasar muncul: apakah runtuhnya dominasi dolar merupakan bagian dari skenario tersembunyi? 

Beberapa teori menunjuk kepada kekuatan alternatif seperti mitos _Java La Grande Kingdom_ (kerajaan maritim Nusantara) dan _Shambhala_ (kerajaan spiritual Tibet) sebagai simbol perlawanan terhadap hegemoni Barat. 

Namun yang lebih nyata adalah ancaman Pax Judaica: transisi kekuasaan global dari AS ke Israel, sebagaimana diisyaratkan dalam Eskatologi Islam, khususnya Hadits Muslim 2937 tentang “sehari seperti seminggu”.

Mengapa AS Tidak Bisa Lagi Mencetak Uang Sebebas Dulu?

Hiperinflasi dan Utang Tak Terkendali: Zimbabwe (2008) dan Argentina (2020) runtuh karena pencetakan uang berlebihan. Kini, AS menghadapi risiko serupa: utang negara menembus US$34 triliun, dan The Fed tak mampu menaikkan suku bunga tanpa memicu resesi.

Krisis Kepercayaan dan Ancaman Default: Defisit perdagangan kronis dan penurunan kepemilikan obligasi AS oleh China dan Rusia mempercepat upaya global mencari alternatif dolar. Nyaris default pada 2023 memperburuk citra stabilitas AS.

Sistem Riba vs Prinsip Ekonomi Islam: Sistem The Fed yang berbasis bunga bertentangan dengan prinsip moneter Islam berbasis emas/perak. Negara seperti Malaysia dan Iran mulai beralih ke transaksi berbasis komoditas.

Kebangkitan Blok Timur, Mata Uang Digital dan Keseimbangan Kosmis

_Java La Grande_ dalam legenda menggambarkan kekuatan maritim Nusantara berbasis emas. _Shambhala_ berasal dari tradisi Tibet, melambangkan kerajaan spiritual penjaga keseimbangan dunia. 

Walaupun bukti arkeologis masih minim, keduanya memengaruhi imajinasi kolektif tentang kemungkinan tatanan dunia non-Barat.

China dan Digital Yuan: China meluncurkan e-CNY untuk mengurangi ketergantungan pada sistem SWIFT.

BRICS dan Mata Uang Komoditas: Negara-negara BRICS mengembangkan mata uang berbasis emas dan sumber daya alam untuk perdagangan internasional.

Gerakan Dekolonisasi Dolar: Indonesia-Iran mengadopsi skema Rupiah-Rial untuk memperkecil dominasi dolar dalam perdagangan bilateral.

Gerakan Sound Money: Kebangkitan kesadaran terhadap “uang sejati” berbasis komoditas, sejalan dengan prinsip ORI (Oeang Republik Indonesia 1946) dan moneter syariah.

Filosofi Jawa dan _Shambhala_: Tradisi Jawa dan Tibet mengajarkan harmoni dengan alam, bertolak belakang dengan eksploitasi kapitalistik.

Bayang-bayang Pax Judaica dan Rekonfigurasi Sistem Global

Pasca-9/11, Syekh Imran Hosein menegaskan bahwa tragedi WTC adalah bagian dari skenario memuluskan transisi ke Pax Judaica.

Invasi AS ke Timur Tengah dan Afghanistan pasca 9/11, memperkuat hegemoni Zionis-Israel, yang disiapkan sebagai “takhta” bagi kemunculan Dajjal. Krisis dolar AS hanyalah salah satu tahap dari skenario ini.

Sepuluh tahun Syekh Imran menghirup udara New York, hingga akhirnya ia melangkah pergi, meninggalkan negeri itu setelah hari ketika langit Manhattan dilumuri debu dan bara. 

Ia tak pernah kembali, bukan karena diusir tuduhan, melainkan karena ia telah membaca sendiri siapa yang menulis naskah tragedi itu. Ia tidak pernah menginjakkan kakinya lagi di Amerika sejak tragedi itu, bukan karena stigma teroris tapi karena ia tahu siapa teroris yang sebenarnya.

Baginya, runtuhnya Menara Kembar bukan sekadar luka sejarah, melainkan pembukaan tirai bagi sebuah babak besar: penyambutan senyap atas datangnya Dajjal, dan lahirnya tata dunia baru bernama Pax Judaica. 

Sejak itu, dunia pun digiring dalam parade ilusi, mengacungkan panji “perang melawan terorisme” yang diam-diam menempatkan Islam sebagai sasaran yang harus ‘dimoderatkan.’

Apa yang terjadi di balik dan setelah peristiwa WTC, tidak kalah getirnya dibanding tragedinya itu sendiri. Dalam banyak kesempatan, Syekh Imran sering menggambarkan secara simbolik bahwa ada tiga tingkatan kebohongan: kebohongan biasa, kebohongan besar, dan kebohongan 11/9.

Dalam ‘suasana kebatinan’ momen tragedi itulah, bukunya yang monumental, “Jerusalem in The Qur’an”, terbit.

Epilog: Krisis Dolar dan Kelahiran Tata Dunia Baru

Dalam narasi besar “Jiwa yang Tenang di Tengah Bumi yang Retak”, krisis dolar AS bukanlah akhir, melainkan awal dari babak baru pertarungan kosmik. 

Ketika dolar terguncang di ujung tanduk, dua kekuatan tak kasatmata saling tarik-menarik: Pax Judaica dengan proyek hegemoninya yang terselubung, dan semangat _Java La Grande-Shambhala_ yang mengusung paradigma keseimbangan alam-semesta. 

Pasca-9/11, dunia menyaksikan bagaimana tragedi menjadi pemicu transisi kekuasaan. Syekh Imran Hosein mengingatkan: “Runtuhnya Menara Kembar adalah pertanda bahwa tahta Dajjal sedang disiapkan.”

Di sini, krisis moneter AS bukan sekadar persoalan defisit anggaran, melainkan bagian dari skenario besar peralihan hegemoni dari Washington ke Yerusalem, di mana sistem keuangan berbasis bunga akan digantikan oleh kontrol digital yang lebih tersentralisasi. 

Namun, di tengah bayang-bayang Pax Judaica, muncul perlawanan diam-diam. _Java La Grande_ dengan mitos emas Nusantaranya, dan _Shambhala_ dengan filosofi harmoni kosmis, menjadi simbol harapan bagi mereka yang menolak penjajahan model baru: BRICS dengan mata uang komoditasnya, gerakan dinar emas di Malaysia, hingga kesepakatan Rupiah-Rial Indonesia-Iran.

Inilah tangisan zaman: sistem yang dibangun di atas gunung utang dan ilusi fiat kini retak di setiap sendinya, sementara dunia terbelah antara yang terjaga dan yang masih terbuai oleh narasi lama. 

Mereka yang memandang dunia hanya dengan satu mata, mengukur segala sesuatu dengan logika pasar atau doktrin kekuasaan semata, akan kebingungan; sebab keruntuhan dolar bukan sekadar krisis ekonomi, melainkan pertanda pergeseran kosmis, di mana tirai hegemonik dikoyakkan untuk mempertontonkan panggung baru: pertarungan antara penjajahan model digital yang tersamar dan kebangkitan paradigma lama yang sebenarnya lebih adil. 

Di sini, di puing-puing kehancuran sistem ribawi, tersembunyi pertanyaan esensial: akankah kita menjadi bangsa yang bangkit dengan kesadaran, atau hanya penonton yang terperangkap dalam ilusi transisi menuju perbudakan yang lebih halus?

Pada akhirnya, seperti kata Ronggowarsito: “Zaman edan akan berakhir dengan datangnya Satrio Piningit.” Sebelum Satrio itu muncul, boleh jadi akan didahului atau dijemput oleh sebuah kesadaran kolektif untuk membangun sistem moneter yang adil, jauh dari cengkeraman riba, bebas dari ilusi fiat, dan merdeka dari bayang-bayang Pax Judaica.

Karena itu, seperti kata Syekh Imran lagi: “Zaman ini adalah ujian bagi jiwa yang terjaga, dan kuburan bagi jiwa yang tertidur.”

والله أعلم

MS 29/04/25

(foto: ilustrasi/IST)

Posted in

BERITA LAINNYA

Mendagri Perpanjang Masa Jabatan Pj Bupati Bangka

GETARBABEL.COM, BANGKA- Menteri dalam Negeri (Mendgari). Tito Karnavian memperpanjang masa…

Taman Belajar PAUD SKB Kunjungi Kantor Damkar

GETARBABEL.COM, BANGKA- Kamis (3/10/2024), terlihat puluhan anak dari Taman Belajar…

Rencana Pengerukan Alur PPN Sungailiat,Kementerian KKP Terima Usulan HNSI Babel

GETARBABEL.COM, BANGKA — Kementerian KKP telah melaksanakan rapat pembahasan usulan…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI